Selasa, Mei 25, 2010

Cinta Habibie

Aku yakin hingga sekarang para orang tua sering menggembor-gemborkan sebuah nama kepada buah hatinya. Nama itu adalah Habibie.

"Ayo, nak, belajar yang pinter biar kayak habibie nanti, bisa bikin pesawat terbang".

Yaa kurang lebih seperti itulah kalimat yang sering dilontarkan orang tua kepada anaknya. Siapa yang tidak mengenal Habibie? Menurutku, dia adalah icon orang pintar Indonesia. Mari kita telaah lebih jauh.

Hmm.

Menurut mbah google dan om wiki, nama lengkapnya adalah Bacharuddin Jusuf Habibie. Beliau lahir di Parepare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936. Hitung saja berapa umur beliau sekarang. Beliau adalah Wakil Presiden Republik Indonesia yang ketujuh dan Presiden Republik Indonesia ketiga. Dengan menjabat selama 2 bulan 7 hari sebagai wakil presiden dan 1 tahun 5 bulan sebagai presiden, Habibie merupakan Wakil Presiden sekaligus Presiden Indonesia dengan masa jabatan terpendek.

Beliau belajar di Teknik Mesin Institut Teknologi Bandung tahun 1954. Pada 1955-1965 ia melanjutkan studi teknik penerbangan, spesialisasi konstruksi pesawat terbang di RWTH Aachen, Jerman Barat, menerima gelar diploma ingineur pada 1960 dan gelar doktor ingineur pada 165 dengan predikat summa cum laude. Banyak sekali karya Habibie, bisa dilihat sendiri di wikipedia.

Aku tak akan membahas sisi politik dari Habibie dalam tulisan ini.

Habibie menikah dengan Hasri Ainun Besari pada tanggal 12 Mei 1962 dan dikaruniai dua orang putra, yaitu Ilham Akbar dan Thareq Kemal. Seperti yang kita ketahui sekarang, Ibu Hasri Ainun Besari (lebih dikenal dengan Ainun Habibie) telah wafat pada tanggal 23 Mei 2010 pukul 17.30 waktu Jerman di Rumah Sakit Munchen. Ainun Habibie wafat karena mengidap kanker usus besar.

Media cetak maupun elektronik begitu heboh mendengar kabar kalau Ainun Habibie meninggal. Dunia maya juga tidak lepas dari topik ini.

Begitu banyak diungkapkan betapa setianya seorang Habibie menemani istrinya hingga akhir hayat. Semasa mendampingi istrinya, Habibie tidak pernah meninggalkan rumah sakit di Jerman. Dua sejoli itu saling ketergantungan. Cinta mereka terlalu besar. Bahkan setelah Ainun wafat, Habibie tak mau jauh dari jenazah Ainun.


Kata-kata terakhir seorang Habibie di depan jenazah istrinya adalah:

"Ainun, saya sangat mencintaimu. Tapi Allah lebih mencintaimu. Sehingga saya merelakan kamu pergi."

Kata-kata itu yang menggema seantero dunia. Aku melihat ketulusan yang luar biasa pada kata-kata itu. Mungkin itu yang membuatnya sangat fenomenal.

Selamat jalan, Ibu Ainun! Beristirahatlah dengan tenang di sana.
Tegarlah Habibie! Aku tahu Anda kuat! Ainun selamanya ada di hatimu!


Sumber 1
Sumber 2

Sabtu, Mei 08, 2010

Pagelaran Seni Budaya ITB 2010

Sewaktu aku masih TPB (tahun pertama) di ITB, aku selalu parkir di parkiran Utara. Hampir setiap hari kuliah dimulai pukul 7 pagi. Dari parkiran Utara, aku menuju GKU (Gedung Kuliah Umum) Barat atau sesekali Timur, tergantung aku kuliah apa pada waktu itu. Untuk mencapi GKU, aku selalu melewati suatu kawasan yang bernama Sunken Court. Entah mengapa namanya Sunken Court, mungkin ada sejarahnya sendiri.

Sunken Court adalah suatu kawasan di Utara ITB yang isinya adalah sekretariat berbagai macam unit. Mataku selalu tertuju pada UKSU (Sumatera Utara) dan MUSI (Sumatera Selatan) selagi aku berjalan menuju GKU. Selain itu ada juga unit Loedroek (Jawa Timur), UBALA (Bandar Lampung), dan lain-lain. Pikiranku pada saat itu mengatakan, "unit kedaerahan kayak gini mah cuman bakal bikin ITB terkotak-kotakkan".

Akan tetapi, pikiranku itu adalah pikiran kolot. Aku baru sadar setelah aku menyaksikan PSB dengan mata kepalaku sendiri. Dengan adanya berbagai macam unit kesenian kedaerahan, wajah ITB semakin cerah penuh warna. Berbagai macam unit seni dan budaya, dari Sabang hingga Merauke, telah diblend alias dicampur dalam sebuah event bernama PSB ITB 2010.

Inilah kekayaan budaya Indonesia.
Mereka memiliki karakteristik tersendiri, berbeda dengan yang lain namun tetap satu Indonesia.

Inilah kekayaan Institut Teknologi Bandung.
Walaupun berbeda suku, walaupun berbeda program studi, hal itu bukan halangan untuk bersatu di bawah lambang Ganesha.

Aku melihat temanku orang Aceh menarikan saman. Aku melihat temanku orang Jawa Tengah memainkan gamelan. Aku melihat temanku orang Jawa Timur mementaskan ludruk. Aku melihat temanku orang Jawa Barat memainkan angklung. Aku melihat temanku orang Bali memainkan gamelan Bali. Aku melihat temanku orang Sulawesi, Kalimantan, dan Papua menarikan tari yang aku lupa namanya. Mereka semua adalah temanku.

Mata ini takjub melihat mereka tampil. Bulu kuduk ini merinding ketika mereka melenggak-lenggok di atas panggung. Bahkan air mata ini sempat menjebol bendungan yang ada di kelopak mataku.

Arogansi itu memang harus ada. Silahkan kau bangga dengan himpunanmu, silahkan kau bangga dengan status kedaerahanmu. Kau harus bangga akan itu, tapi ingat jangan sampai arogansi itu berlebihan. Itulah yang akan memecah belah kita, kawan.

Aku bangga menjadi orang Indonesia. Aku bangga menjadi mahasiswa Institut Teknologi Bandung.


Agaknya pemuda Indonesia zaman sekarang memerlukan siraman budaya pribumi, tidak hanya konser band luar negeri seharga ratusan ribu rupiah itu.
-Gandrie

Selasa, Mei 04, 2010

Imam Sholat

Imam adalah pemimpin. Imam sholat berarti pemimpin sholat. Aku mau mengeluarkan semua keluh kesahku. Loh, apa hubungannya? Sebenarnya ada satu masalah yang sangat mengganjal. Semua itu berawal dari mushola di CC Barat ITB.

Aku pernah mengalami dua jenis kondisi pada hari yang berbeda di mushola CC Barat. Kebetulan keduanya saat sholat Maghrib. Kondisi pertama adalah aku menjadi makmum dan kondisi kedua adalah aku menunggu karena mushola sedang penuh. Yang ingin aku katakan adalah imamku saat itu lamaaa sekali. Lamaaaa sekali.

Kalau aku tidak salah, ada suatu hadits yang mengatakan kalau Nabi Muhammad menjadi imam, maka Beliau akan menjadi imam yang tidak terlalu lama sholatnya. Aku yakin Islam bukan seputar ibadah saja, tapi juga ada aspek sosial di setiap ibadah yang dilaksanakan. Naaah, menurutku, untuk ukuran mushola CC Barat, sangat tidak pas jika durasi sholatnya terlalu lama. Ada tiga alasan dan akan aku bandingkan dengan Masjid Salman.

Pertama
Bung imam, ini bukan Masjid Salman di mana aku bisa sujud dengan nikmatnya di atas lantai berlapis kayu. Ini mushola CC Barat, aku bersujud di atas sajadah yang lembab dan kadang berbau tak sedap.

Kedua
Bung imam, ini bukan Masjid Salman di mana ruang untuk sholat terbentang dengan luasnya. Ini mushola CC Barat, ruangnya sempit dan sirkulasi udara tidak berjalan dengan baik.

Ketiga
Bung imam, ini bukan Masjid Salman di mana tidak ada antrian untuk sholat. Ini mushola CC Barat, jika kau sangat lama maka akan terjadi antrian panjang di tempat wudhu dan jalan menuju tempat sholat.

Oh, imam! Aku tahu hapalanmu sungguh luar biasa. Aku tahu kau bisa melantunkan ayat Al-Qur'an dengan indahnya. Aku tahu yang kau incar adalah kekhusyukan. Tapi tidakkah kau sadar ada aspek sosial di luar itu semua? Bukankah seharusnya seorang imam memiliki kepekaan kepada pengikutnya?

Oke cukup. Sepertinya tulisanku semua di atas adalah sebuah keluhan yang tak tersampaikan.

Mengutip pernyataan Ghazi:
"Seseorang yang meninggalkan jejak, menulis cinta, dan menumpahkan isi pikirannya dalam dunia maya. Karena ia adalah pengecut dunia nyata."

Ya, aku adalah seorang pengecut dunia nyata.