Senin, Mei 28, 2012

Skype

Sebenarnya sudah sejak TPB saya punya akun Skype, hanya saja jarang pisan saya gunakan.
Anyway, please kindly add my Skype: gandrie.ramadhan
Feel free to reach me.

Like father, like son. Do we look alike?

Rabu, Mei 23, 2012

Sekilas Yogyakarta

23 Desember 2011.

Berdua saja sebuah perjalanan apik dimulai kala itu. Perjalanan malam dengan bus selama 10 jam berhasil mengantarkan kami ke Yogyakarta dari Bandung. Badan bau asam, rambut kusut, air liur di pinggir bibir, dan kotoran mata di ujung kelopak adalah deskripsi yang sangat menggambarkan keadaan kami saat turun di sebuah persimpangan jalan bernama Perempatan Kentungan pukul enam pagi. Men, ini Yogyakarta loh. Sambil menggaruk-garuk bagian belakang kepala dengan tangan kanan dan mengernyitkan alis, saya bertanya: "Ke mana kita, Ghaz?"

Bermodalkan tali persahabatan semasa SMA, saya menghubungi seorang teman yang memang kuliah di UGM dan mengabarkan kalau kami ada di Perempatan Kentungan. Dengan baiknya kami dibonceng dengan sepeda motor menuju daerah Pogung. Pogung itu seperti Cisitunya Yogyakarta. Sampai di pondokan, kami membereskan barang dan berdiskusi akan ke mana selama dua hari di Yogyakarta.

Petualangan dimulai dengan naik TransJogja menuju Malioboro. Menelusuri Malioboro, tak sulit menemukan Benteng Vredeburg walaupun harus menembus keramaian jalan dan Pasar Beringharjo. Cuaca kala itu sangat terik dan langit sedang biru-birunya dihiasi dengan putihnya awan. Di dalam Benteng Vredeburg itu sendiri terdapat sebuah museum diorama yang menggambarkan kejadian penting selama pergolakan zaman kemerdekaan di Yogyakarta.

Kami juga singgah di kraton dan museum kereta kuda. Dasar mahasiswa, setiap ada rombongan yang ada pemandu tur, kami curi-curi informasi agar dapat penjelasan (secara gratis). Di museum kereta kraton ada pengalaman mistis. Pemandu tur berkata kalau mengambil gambar dengan kamera biasanya ada objek yang bertambah. "Seperti sekarang ada penampakan wanita cantik berambut panjang dan berbaju hijau bersama kita," tutur pemandu tur. Matilah saya. Mati.

Ada sebuah situs unik bernama Taman Sari yang dulunya adalah tempat raja (sultan) mandi bersama para selirnya. Orang zaman dulu memang memiliki istri hingga puluhan. Saya tak habis pikir, saya sih satu saja nanti. Haha. Sayangnya, akses menuju tempat ini kurang baik karena sudah dikelilingi oleh rumah rakyat. Makanya, gang-gang harus ditelusuri untuk mencapai situs ini. Tak lupa ada sebuah masjid bawah tanah yang berundak-undak yang sudah tidak digunakan lagi di sini.

Beruntungnya kami ternyata sedang ada sekaten di alun-alun. Saya tak mau melewatkan sebuah hiburan rakyat yang klasik ini. Ada pertunjukan ular berkepala manusia! Bukannya takjub, pertunjukan ini malah membuat saya tertawa geli. Malam harinya kami bermain trampolin dan ternyata susah! Kami hanya bisa terpukau melihat instruktur yang meloncat ke sana ke mari dengan gemulai.

Ada lagi yang unik. Arah masjid pasti mengikuti letak kiblat di Mekkah sana, tidak seperti mushola yang kebanyakan mengikuti denah ruangan sehingga arah saat salat biasanya miring. Ada sebuah masjid di dekat alun-alun (saya lupa namanya) yang arah kiblatnya dibenarkan oleh Ahmad Dahlan sehingga ketika salat di dalam masjid justru sedikit miring. Unik, ya? Setelah itu kami juga menelusuri daerah Kauman melewati gang-gang kecil. Malam sebelum meninggalkan Yogyakarta, kami menonton Sendratari Ramayana di Purawisata di Jalan Ireda. Tadinya ingin menonton di Candi Prambanan tapi apa daya tiketnya sudah habis terjual. Banyak orang merekomendasikan menonton di sana karena lebih memukau.

Terakhir yang unik! Gorengan POPULAIR! Cari saja di sekitar alun-alun. Pisang molennya tidak masuk akal enaknya. Renyah tepung di luar, leleh pisang di dalam. Nyam!

Wisata Yogyakarta kami kala itu termasuk kategori pop. Saya yakin masih banyak seluk-beluk Yogyakarta yang memiliki nuansa sejarah, budaya, kuliner, atau alam yang menarik. Di balik itu semua, Yogyakarta jelas memiliki atmosfer keunikan tersendiri yang membuat para petualang ketagihan berada di sana. Satu hal: saya kangen kepada Yogyakarta. Ya, saya akan ke sana lagi suatu saat.

"Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka berjalanlah di segala penjurunya..."
QS. al-Mulk [67]: 15

Ayo menjelajah!

Kamis, Mei 10, 2012

1001 Wajah Transportasi Kita

KU-4012 Komposisi menugaskan sebuah resensi. Daripada sekedar dikumpulkan lebih baik saya 'simpan' juga di sini. Kritik dan saran monggo pisan. Nyahaha.
Judul: 1001 Wajah Transportasi Kita
Penulis: Bambang Susantono
Tebal: 273 + iv
Ukuran: 210 mm x 140 mm
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009

Berbicara tentang transportasi di Indonesia berarti berurusan dengan hal yang memiliki kompleksitas tinggi dan bersifat dinamis. Tidak bisa dipungkiri bahwa transportasi di Indonesia layaknya benang kusut yang sudah sangat sulit diurai menjadi lurus kembali. Sulit bukan berarti tidak mungkin dicarikan solusinya, tetapi memang dibutuhkan ketekunan dan kesabaran ekstra.

Publik perlu mengetahui persoalan transportasi secara makro maupun mikro agar tercipta sudut pandang yang jernih sehingga tidak hanya caci maki yang keluar dari mulut, tetapi diharapkan ikut menciptakan solusi transportasi yang konstruktif. Buku ini adalah salah satu sarana edukasi kepada masyarakat sehingga publik mampu memandang persoalan dengan perspektif positif, bukan dengan pola pikir apatis yang berujung pada frustasi.

Buku ini ditulis oleh Bambang Susantono yang sekarang menjabat sebagai Wakil Menteri Perhubungan sekaligus ketua MTI (Masyarakat Transportasi Indonesia). Di bagian awal, penulis menjelaskan bahwa menjamurnya kendaraan bermotor pribadi (mobil dan sepeda motor) adalah akibat dari ketidakmampuan pemerintah dalam mengembangkan sistem transportasi massal yang memiliki asas 5K: keselamatan, keamanan, keterjangkauan, kenyamanan, dan kultur. Mega proyek transportasi seolah-olah dijalankan dengan setengah hati sehingga menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah. Bagian-bagian berikutnya dari buku ini menjelaskan berbagai macam fenomena dan moda transportasi seperti mudik, TransJakarta, becak, MRT, angkutan kota, pesawat terbang, kapal laut, dan sepeda.

Sadarkah ketika kita mengeluh karena terjebak kemacetan, kita sendiri merupakan bagian dari kemacetan itu? Buku ini menggugah kesadaran bahwa kita pun bagian dari penyebab masalah transportasi. Bambang Susantono menjelaskan wajah transportasi di Indonesia secara komprehensif dan apa adanya tanpa menyampingkan rasa optimis pembenahan yang harus dilakukan oleh setiap kalangan. Di sisi lain, penulis menekankan bahwa siapapun yang berada di jalan raya akan memiliki pengaruh bagi keselamatan pengguna jalan di sekitarnya.

Bobot ide yang disampaikan penulis sangat realistis dan aplikatif. Tidak hanya itu, data dalam banyak cabang transportasi disajikan secara sistematis dan menarik sehingga pembaca tidak akan merasa bosan dan bingung. Kreativitas penulis dibuktikan dengan beberapa visualisasi atau wajah sebenarnya transportasi di Indonesia secara gamblang. Di bagian akhir, secara unik penulis menyisipkan tips praktis nyaman dan aman di jalan dengan menggunakan berbagai moda transportasi.

Ditinjau secara tata bahasa, buku ini menerapkan EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) dengan baik. Tidak ada kesalahan cetak dan kutipan disampaikan dengan benar. Sebagai kesimpulan, buku ini layak untuk dibaca oleh siapapun karena membuka mata pembacanya tentang uniknya seluk-beluk wajah transportasi dan merupakan asupan energi optimis untuk transportasi di Indonesia yang lebih baik.

Rabu, Mei 09, 2012

Jalan Terus

Arcavatara!

Banyak hal menarik yang bermula dari kepanitiaan ini. Fitoy dengan sotoynya meminang Agni sang dewi api untuk mengurus publikasi dan dokumentasi. Tidak heran jika kebanyakan panitia inti OHU 2010 adalah anak STEI dan FTSL. Adalah pilihan yang tepat ketika sang pilot memilih Bow untuk bergelut di bidang stand. Dengan sifatnya yang membumi, takluk semua urusan! OHU 2010 bertambah manis dengan adanya pawai, pembukaan, dan penutupan yang gemilang. Otak utamanya adalah Amri si kreatif! Lucunya lagi, Qinan adalah satu-satunya ITB angkatan 2009 yang menjadi panitia inti secara random saat Agni mencari orang di LFM. Ya, semua itu skenario Tuhan.

Semuanya berlanjut hingga sekarang dan ternyata lebih dari sekedar sapaan saat saling berpapasan. Beberapa dari kami tercebur dan saling menyelami sisi-sisi tidak biasa yang tidak diketahui khalayak umum. Entah energi apa dan dari mana yang berhasil meledakkan gejolak rasa nyamannya bercerita sehingga menambah uniknya ornamen kehidupan.

Kami bukan lagi gunung es yang ternyata menyimpan sesuatu yang besar di bawah permukaan air laut. Kopi hitam yang pekat dan tentunya terasa pahit di lidah lantas sering menjadi saksi bisu perbincangan kami di suatu kedai sederhana pada malam-malam tertentu. Obrolan di warung kopi memang penuh inspirasi. Pembeberan masalah, cita-cita, dan asa mengalir secara laminer tanpa mengenal waktu dan dinginnya malam. Tersolusikan itu bagus, tetapi tidak juga tidak masalah. Toh rasa legowo hinggap dan menentramkan jiwa ketika cerita tersalurkan dan bermuara di peraduan yang tepat.

Selain ngopi, kami sedang mencari tempat nongkrong 'nyoklat' yang asik di Bandung. Malam, dingin, obrolan, dan cokelat panas sepertinya kombinasi yang sempurna. Jangan lupa kalau Theobroma cacao adalah mood booster!

Ada yang punya rekomendasi?