Selasa, Maret 28, 2017

Jumat Sore

Jumat sore itu, lalu lintas seperti biasanya, tersendat di segala arah. Stasiun Transjakarta Cawang UKI semakin sesak, bus untuk beberapa rute yang tidak kunjung datang menyebabkan penumpukan penumpang di area tertentu. Setelah lebih dari 40 menit menunggu, bus jurusan Pluit/Grogol akhirnya tiba. Petugas on-board berteriak dengan lantang, "Lewat tol, ya!", tetapi seakan tidak ada yang peduli. Pikiran para penglaju ini hanya terfokus agar bisa segera naik dan sampai di rumah.

Bus masuk ke jalan tol dalam kota selepas Stasiun BNN. Momen ini mulai menyadarkan banyak orang tentang situasi yang tidak seperti biasanya terjadi. Setelah refleksi diri usai, para penglaju ini akhirnya membagi kebingungan satu sama lain.

"Masuk tol, ya? Keluar lagi di mana, Mas?"
"Semanggi, Pak!"
"Wah, nggak berhenti di Stasiun Cawang? Saya mau ke Depok!"
"Kuningan Barat juga tidak berhenti?"
"Kita keluar di Semanggi, Pak. Pemberhentian selanjutnya adalah Halte Semanggi"

Konstruksi LRT Cawang - Dukuh Atas mengurangi jumlah lajur di Jalan M.T. Haryono dan punya dampak yang signifikan. Bukannya memprioritaskan transportasi publik yang sudah ada, dishub justru menghilangkan separator Transjakarta. Hal ini disesali oleh banyak pihak. Bukan tanpa alasan, Pinang Ranti - Gatot Subroto Jamsostek yang biasanya ditempuh satu jam, kini menjadi lebih dari dua jam karena Transjakarta kehilangan jalur eksklusifnya. Padahal ini momentum yang tepat untuk menunjukkan supremasi sebuah sistem transportasi publik.

Alternatif yang dieksekusi oleh Transjakarta adalah sedikit mengubah rencana operasinya dengan melaju lewat jalan tol dalam kota. Beberapa penglaju kena getahnya. Mereka yang hendak transfer di Stasiun Cawang Cikoko atau Kuningan Barat terpaksa meneruskan hingga Semanggi lalu kembali ke arah yang telah dilalui sebelumnya. Waktu semakin banyak yang terbuang di perjalanan.

Alih-alih terjadi kericuhan di dalam bus, para penglaju malah seperti menertawakan diri sendiri. Di tengah kebingungan dan kepasrahan itu muncul interaksi, saling sapa dan tanya. Kepala mereka akhirnya menengadah dari yang awalnya tertunduk sepanjang perjalanan akibat sihir layar ponsel pintar. Ah, inilah situasi ibukota, pelik, tetapi pilihan untuk menikmati Jumat sore itu selalu ada.