Kamis, April 26, 2012

Penempa

Kampus menempa.
Setiap semester punya cerita.
Suka, duka, bahkan cinta.
Bergulat dengan permainan rasa dan logika.

Selalu ada yang layak untuk diperjuangkan dan dipertahankan.

Senin, April 23, 2012

Sedikit Filosofi Bersepeda

Saya pernah menulis tentang Warung Bandrek. Selengkapnya bisa dibaca di sini.

Hampir setiap minggu saya bersepeda ke Warung Bandrek. Beruntung sekali Bandung memiliki destinasi bersepeda yang hijau dan menantang di daerah Utara. Coba saja bandingkan dengan Jakarta. Tanjakan-turunan di Bandung ada karena kontur yang memang berbukit-bukit. Jakarta? Jembatan layang mungkin. Aduh.

Sekitar dua atau tiga minggu yang lalu, saya ke Warung Bandrek lagi. Kali ini beda. Teman saya, seorang perempuan, bernama Febrini atau biasa dipanggil Tya telah membulatkan tekadnya untuk gowes ke Warban. Saya sangat mengapresiasi dia. Sangat. Pisan. Faktanya, pondokannya berada di daerah Kanayakan (dekat Borma Dago) dan dia gowes ke kampus! Hore!

Dengan modal semangat, Tya didampingi oleh saya, Rendy, dan Ari. Sebut saja kami Tya's Angels.

Hampir setiap orang yang pertama kali melahap beberapa tanjakan menuju Warban pasti bermuka pucat layaknya mayat. Tidak heran sih, tanjakannya memang terjal dan ada satu buah yang bernama 'putus asa'. Ya, bayangkan saja dari namanya. Selama mendampingi Tya, pikiran saya berkecamuk hingga ke ranah filosofis. Saya baru sadar ternyata sepeda dan perempuan memiliki korelasi antara satu dengan yang lain. Haha. Jadi seperti ini.

Perempuan diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang lembut. Bukan bermaksud menurunkan derajat, tetapi secara umum fisik laki-laki lebih kuat daripada perempuan. Di sisi yang berseberangan, perempuan punya peran yang tidak bisa digantikan oleh laki-laki. Makanya, kedua makhluk ini saling membutuhkan.

Perempuan, makhluk pembawa sejuk dan pemanja rasa, butuh keberadaan laki-laki dari tiga posisi: depan, belakang, dan sejajar. Saya menganalogikannya dengan gowes bersama. Hidup itu ibarat tanjakan terjal yang mau tidak mau harus dilalui secara berpasang-pasangan.

Sesekali saya berada di belakang Tya sebagai pengawas sehingga saya akan menjadi orang pertama yang menolongnya apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Sesekali saya tepat berada di sampingnya; sebagai teman bercerita, bercengkerama, atau bersenda gurau. Sesekali saya melaju terlebih dahulu meninggalkan yang lain menuju puncak bukit lalu meneriakkan semangat kalau dia bisa melalui semua itu. Kemudian saya langsung teringat dengan perkataan Ki Hajar Dewantara:

Ing ngarso sung tulodo.
Ing madyo mangun karso.
Tut wuri handayani.

Di depan memberi teladan, di tengah memberi semangat, dan di belakang memberi dorongan. Sedikit kurang sreg sih dengan apa yang saya tulis sebelumnya tapi biarlah. Haha. Tidak berhenti sampai di situ, saat turun dari Warban juga melakukan hal yang sama. Intinya mendampingi perempuan ini. Biasanya, di antara teman-teman saya, saya adalah orang yang paling ekstrem saat melibas turunan. Kecepatan penuh! Tuh benar kan, manfaat bersepeda banyak loh. Tidak hanya menjadi sahabat Bumi, bersepeda juga menyegarkan tubuh dan pikiran. Yay!

Bersepedalah sebelum payah!

Rabu, April 18, 2012

Dragons

Once there were dragons.
Imagine a time of dragons –some larger than mountainsides, slumbering in the depths of the ocean; some smaller than your fingernail, hopping through the heather.

Sebuah prolog yang ditulis dengan anggun oleh Cressida Cowell di salah satu seri buku How to Train Your Dragon. Sangat jelas kalau Cowell mengajak pembaca untuk berfantasi tentang keberadaan naga. Siapa yang tidak tahu naga? Sejak kecil, saya selalu membayangkan seekor naga adalah makhluk mitologi yang bertubuh besar, kekar, bersisik, berleher panjang, bersayap, dan bisa menyemburkan api dari mulutnya.

Layaknya Cowell, saya juga terpesona dengan naga. Makhluk magis ini seringkali diceritakan memiliki elemen bumi, udara, air, atau api. Makanya saya sangat suka dengan segala hal yang berbau tentang naga di video game, buku, atau figure.

How to Train Your Dragon (Books).

Seri buku ini termasuk kategori anak-anak. Agak aneh memang ketika seorang yang berumur 20-an membaca buku ini. Namun, saya tidak peduli. Saya suka dengan naga dan dengan membaca buku ini dapat meningkatkan linguistik Inggris saya. Tanpa disangka-sangka, saya mendapat bonus berupa nilai-nilai positif kehidupan yang sengaja diselipkan oleh Cowell dalam seri buku ini. Menurut saya, Cowell sangat brilian dalam mengombinasikan fantasi dan realita dalam bentuk untaian kata-kata. Perpaduan dua hal itu membuahkan karya nyata yang manis dan merupakan oase bagi mereka, terutama anak-anak, yang haus dengan fantasi.

Terdapat sepuluh buku dalam seri ini. Hingga tulisan ini diturunkan, saya sudah punya delapan dan membaca tujuh. Buku kesembilan sepertinya sudah ada di Indonesia, namun buku kesepuluh baru akan terbit tahun ini (2012). Pertama kali saya membeli buku kesatu versi Indonesia. Tamat, lalu saya membeli buku kesatu versi Inggris. Selanjutnya saya membeli versi Inggris karena lebih menikmati setiap kata-katanya.


Buku ini menceritakan petualangan Hiccup Horrondeus Haddock III. Tidak seperti kebanyakan Viking yang (selalu) mengandalkan otot, Hiccup mengedepankan berpikir sebelum bertindak. Ya, Viking terkenal dengan suku barbar yang meneror siapapun di darat maupun laut. Hiccup terlahir berambut merah dan sangat kurus. Kemampuan yang bisa dibanggakan Hiccup hanya berpedang; sisanya berantakan. Sebagai tambahan, Hiccup dianugerahkan bisa berbahasa naga. Seperti yang tadi saya bilang, banyak segi positif yang bisa dituai dari cerita ini: ukuran bukanlah segalanya, keberanian, persahabatan, perjuangan, kerja keras, kesabaran, berpikir taktis, dan lain-lain. Anak-anak butuh fantasi! Anak-anak butuh penyampaian nilai positif kehidupan dengan cara yang unik. Setidaknya saya akan mendongengkan kisah naga ini ke anak saya nanti. Haha.

Perbedaan antara buku dengan film.

Ini adalah kali pertama saya membaca buku terlebih dahulu lalu menonton sebuah film yang mengadopsi cerita dari buku tersebut. Ditinjau dari segi cerita dan karakter, terdapat perbedaan yang sangat nyata. Di buku pertama, naga-naga ditangkap untuk dilatih, sedangkan di film terjadi peperangan antara naga dengan Viking dan pelatihan naga baru dijalankan setelah Hiccup menunjukkan kalau mereka bisa dilatih. Perbedaan berikutnya yang mencolok penggambaran Toothless (naga milik Hiccup) sebagai seekor naga bernama Night Fury yang merupakan spesies langka, cerdas, dan bisa ditunggangi. Toothless di buku digambarkan sebagai naga biasa sebesar kucing. Yang terakhir, di film Hiccup tidak bisa berbahasa naga.

Terlepas dari banyak perbedaan, film How to Train Your Dragon sangat jempolan! Tak heran rating di IMDb sebesar 8.2. Cowell menyetujui perbedaan-perbedaan itu dan mengatakan kalau intisari dan pesan yang ada di buku tetap tersampaikan di film. Tunggu How to Train Your Dragon 2 pada tahun 2014! Asik!

Figure.

Berhubung saya juga suka dengan Lego, saya punya Lego Creator 6751 Fiery Legend! The great red dragon! Awesomeness! The guardian of my desk!


Proyek berikutnya adalah Lego Creator 4894 Mythical Creature! Aduh tapi yang satu ini mahal. Mari nabung!

Once there were dragons.
Yes, there were dragons.

Rabu, April 04, 2012

Al-Irsyad


Sudah lama saya ingin melihat secara langsung masjid kotak itu karena selama ini hanya melihat dari dunia maya. "Pokoknya gue harus ke sana!" adalah perkataan dalam hati seketika melihat masjid itu di layar kaca laptop. Telusur punya telusur, ternyata masjid itu terletak di Kota Baru Parahyangan. Namanya Masjid Al-Irsyad.

Kota Baru Parahyangan itu di sebelah mananya Bandung? Teman saya bilang ke arah Padalarang dan ada di sebelah kiri; lebih cepat naik mobil karena via jalan tol. Semuanya terjawab dengan jelas saat saya melakukan perjalanan Bandung-Jakarta dengan moda transportasi sepeda beberapa minggu yang lalu. Cerita perjalanannya bisa dilihat di sini. Setelah gowes melewati Cimahi lalu menuju Padalarang, ada papan penunjuk jalan berlatar hijau dan bertuliskan Kota Baru Parahyangan dengan arah panah ke kiri. Beberapa meter kemudian terdapat gerbang yang luas. Ini dia!

30 Maret 2012

Setelah Salat Jumat, saya memutuskan pergi ke lokasi bersama pacar saya, Sasya namanya. Tidak lupa saya membawa pacar ketiga saya, Keny namanya. Silvi pacar kedua sayasengaja tidak saya ajak karena bisa sedikit merepotkan. Aduh, pacar saya banyak, ya. Sekilas foto tentang Sasya bisa dilihat di sini. Foto Silvi bisa dilihat di sini, tetapi sayangnya saya belum punya foto pacar ketiga saya, padahal dia yang membantu saya mengambil gambar. Cukup dengan pacar.

Perjalanan sempat tersendat karena ada arak-arakan demonstrasi penolakan kenaikan BBM yang diadakan oleh serikat buruh di Kota Cimahi. Keadaan sangat macet tapi dengan bermodalkan selap-selip dan kenekatan, saya berhasil menerobos hingga barisan terdepan dan melaju meninggalkan demonstrasi. Selebihnya perjalanan lancar, hanya saja harus berbagi jalan dengan banyak truk besar.

Memasuki Kota Baru Parahyangan, saya disuguhi dengan jalan dua arah yang sangat lebar dan mulus dengan median yang lebar dan ditanami pohon. Tidak hanya itu, ada jalur khusus sepeda! Dengan kontur yang sedikit naik-turun, tempat ini sangat cocok untuk sepedahan! Satu hal yang membuat saya kaget adalah adanya sebuah SPBU di dalam komplek Kota Baru Parahyangan.

Saya melaju terus tanpa bertanya. Bentuknya yang khas langsung menarik perhatian dan membuat saya yakin kalau itu adalah Al-Irsyad. Turun dari motor, saya diam sejenak sembari mengarahkan pandangan ke masjid. Wah, puas. Sore itu sedikit berawan dan berangin. Saya mengambil air wudu dan lekas menunaikan solat asar. Kondisi di dalam masjid juga membuat saya terkesima. Tanpa kolom, masjid ini terasa lebih lapang seperti Masjid Salman di depan ITB.

Nikmatnya solat asar saat itu. Angin dari empat arah senantiasa mengalir. Beres solat, saya celingak-celinguk memerhatikan interior mesjid. Di bagian pinggir ditabur banyak batu koral berwarna putih. Terdapat semacam kolam memanjang sepanjang sisi samping masjid yang berisi air jernih dan bermuara ke belakang mimbar. Di bagian depan tidak terdapat dinding, dibiarkan bolong begitu saja. Di tengah kolam, terdapat sebuah bola yang diukir dengan simbol Allah.

Saya melihat ke langit-langit masjid. Terdapat banyak pilar yang menjulang pendek dari atas ke bawah. Dugaan saya benar, jumlahnya 99. Dengan susunan 9 baris dan 11 kolom, terdapat 99 inisial nama Allah atau biasa disebut Asmaul Husna. Saat gelap, lampu-lampu nama Allah itu akan dinyalakan. Sebelum jepret sana-sini, saya meminta izin terlebih dahulu kepada pengurus masjid dan alhamdulillah direstui.

Selesai di dalam, saya beranjak ke luar untuk memerhatikan dinding masjid secara lebih detail. Arsitektural masjid ini luar biasa indah. Tumpukan dua warna bata yang salah satunya berjenis hollow section disusun sedemikian rupa hingga membentuk kaligrafi. Burung gereja dengan cerdiknya memanfaatkan hollow section itu sebagai tempat peristirahatan. Saya pikir sengaja salah satu bata yang digunakan berjenis hollow section agar kesegaran dan kesejukan senantiasa terasa di dalam masjid. Saya menjauh, menikmati sebuah bentuk kotak simpel yang memikat setiap orang yang beribadah di sana.

Masjid Al-Irsyad berhasil memesona batin saya dengan kesederhanaan desainnya, belum lagi matahari sore dan suasana senja yang terasa hangat bila disantap oleh hati yang damai.