Senin, Desember 22, 2014

Sepeda Listrik

Bandung membentuk saya menjadi pribadi yang gemar bersepeda. Indekos di Tubagus Ismail dan kampus di Jalan Ganeca adalah rute yang kerap ditempuh sebagai rutinitas. Dago bagian atas hingga Lembang menambah orgasme bersepeda di kota itu. Lalu ada lagi tindakan konyol gowes Bandung Jakarta yang dulu pernah saya jalani bersama dua sahabat. Kami tidak sebanding dengan Darren Alff atau Paimo, yang jelas, perjalanan BandungJakarta kala itu cukup membuat dada kami menjadi busung dan layak diceritakan kepada anak dan cucu dengan penuh antusias.

Masa penuh kekonyolan itu telah usai. Sekarang saatnya menyambung hidup di ibukota.



Mari realistis, bersepeda rutin di Jakarta sama saja bunuh diri! Bukannya sehat didapat, malah sekarat. Kota ini dibanjiri sepeda motor berbahan bakar fosil yang tidak hanya merusak tubuh, tetapi juga perilaku (mayoritas) pengendaranya yang jauh dari kata beradab. Mengapa sepeda motor menjadi primadona? Ternyata warga Jakarta masih bisa berpikir jernih: sepeda motor adalah moda transportasi yang paling rasional. Ia menawarkan fleksibilitas dengan harga yang sangat terjangkau. Mobil lebih parah lagi, ruang jalan yang diambil oleh sebuah mobil lebih sering diisi hanya satu-dua orang. Pada saat yang bersamaan, pemerintah seakan kalah dengan mafia. Publik yang kena imbasnya.

Ah, semua orang tahu rumus itu. Maafkan jalan Jakarta!

Saya bermimpi sebuah Jakarta yang dirajai oleh pejalan kaki dan pesepeda. Sepertinya tidak mungkin, ya? Akan tetapi, Tony Fernandes memberikan petuah seperti ini: "Believe the unbelievable, dream the impossible". #azek

Dan itu semua dimulai dari diri sendiri. Saya memulai dengan sepeda listrik! Dengan sepeda listrik, penggunaan sepeda sebagai moda transportasi utama bisa menjadi sesuatu yang rasional. Berbicara realistis lagi, saya sadar sepeda listrik secara masif pun tidak akan menyelesaikan persoalan mobilitas secara menyeluruh. Ini hanyalah salah satu butir solusi.


Dari dulu saya ingin memiliki sepeda lipat! Oh, perkenalkan, namanya Vitalia, sebuah Dahon Vitesse D8 keluaran 2014. Sebenarnya Indonesia sudah memproduksi sepeda listrik secara massal, tetapi saya tidak suka dengan modelnya dan memutuskan membeli sepeda dengan model yang saya suka dan merakit sendiri kit elektriknya. Konsekuensinya adalah harus jeli agar setiap komponen kit elektrik bisa kompatibel dengan sepeda. Sayangnya, hanya sepeda yang saya beli di Indonesia, semua kit elektrik masih impor. Saya mengalami kesulitan menemukan komponen ini di dalam negeri. Bagi para pembaca yang tahu, tolong informasikan ke saya.

Komponen dasar sepeda listrik terdiri dari motor, kontroler, baterai, dan monitoring tool. Akan lebih baik pula untuk mengenal istilah-istilah dasar di bidang elektro. Senior saya, Dwinanto Setyo, telah menuliskan hal-hal dasar yang perlu diketahui di blognya. Cek di sini. Electricbike.com, ebikes.ca, dan Endless Sphere juga layak untuk dieksplorasi.

Sepeda saya mampu menjelajah hingga 60 kilometer dengan baterai terisi penuh. Kecepatan maksimalnya 43 kilometer per jam. Daya jelajah dan kecepatan seperti itu sudah lebih dari cukup untuk para komuter. Saya memilih sepeda lipat karena ide awalnya adalah agar bisa terintegrasi dengan moda lain seperti BRT, KRL, dsb. Akan tetapi, bobot total sekitar 24 kilogram bukan ide yang baik untuk diangkat secara terus-menerus.

Persoalan selanjutnya adalah fasilitas penunjang. Pertama, tempat parkir sepeda masih minim disediakan oleh pemerintah atau pengelola gedung sehingga harus berpikir ekstra untuk memarkirkan sepeda. Kedua adalah integrasi dengan moda lain seperti akes berupa ramp (bidang miring) atau lift di stasiun dan tempat khusus meletakkan sepeda selama berada di bus atau kereta.


Semoga kelak Jakarta dapat memanusiakan warganya dalam bermobilitas. Aamiin!

Minggu, Desember 14, 2014

Revisi

Tadinya 'konsistensi' berada di peringkat pertama sebagai hal tersulit untuk dilakukan menurut versi saya. Sekarang ada revisi! Berikut daftar peringkat terbaru:
  1. Pasrah
  2. Qana'ah (merasa cukup)
  3. Konsistensi
Semoga berhasil!

Sabtu, September 27, 2014

To love is to be vulnerable

"To love at all is to be vulnerable. Love anything and your heart will be wrung and possibly broken. If you want to make sure of keeping it intact you must give it to no one, not even an animal. Wrap it carefully round with hobbies and little luxuries; avoid all entanglements. Lock it up safe in the casket or coffin of your selfishness. But in that casket, safe, dark, motionless, airless, it will change. It will not be broken; it will become unbreakable, impenetrable, irredeemable. To love is to be vulnerable."
C.S. Lewis

Jumat, September 12, 2014

The Acknowledgements

I would like to thank to my first and second supervisor, Jeremy Shires and Daniel Johnson respectively, who have frequently spent their time to give priceless guidance of supervision with regards to this dissertation topic. Many thanks also to Munajat Tri Nugroho for his assistance teaching the basic use of Biogeme.

I should also give thanks to all students of Institute for Transport Studies, who have all shown outstanding transport passion across the world combined with warm friendship, to all staff at Institute for Transport Studies, who have all been more than helpful for students.

Massive thanks to Indonesia Endowment Fund for Education, whose scholarship allow me to have focus of study without any financial pressure.

Finally, thanks to my parents, Sri Nurhayanti and Suparyono for their invaluable support and endless care.

Jumat, September 05, 2014

Niat Melanjutkan Studi

Sekolah ke luar negeri menjadi sesuatu yang 'wah' bagi sebagian orang, terutama bagi yang tidak sanggup secara finansial tapi berhasil mendapatkan beasiswa untuk menempuh studi lanjutnya. Penulis memiliki hasrat yang kuat untuk melanjutkan jenjang master sejak tingkat tiga kuliah sarjana. Dasarnya ada dua dan sangat sederhana: memperdalam ilmu transportasi agar nantinya bisa berperan membuat kebijakan yang pro-rakyat dan sengaja menceburkan diri ke zona tidak nyaman.

Penulis berdomisili di Jakarta dari TK hingga SMA. Hijrah ke Bandung pada tahun 2008 untuk melanjutkan kuliah sarjana tidak membuat penulis puas dengan zona tidak nyaman yang ada. Bandung sangat nyaman! Masih ada nasi goreng tek-tek pinggir jalan, kemudahan berkomunikasi, cuaca yang bersahabat, pecel lele, kamar kos dibersihkan, dan baju dicucikan sebagai beberapa contoh kecil. Atmosfer Bandung yang terasa berbeda di hati menambah kota ini jauh dari kata tidak nyaman.

Sungguh pas rasanya kombinasi kenyamanan Bandung dan hasrat melanjutkan studi master di luar sana. Setelah kalkulasi kasar, estimasi biaya satu tahun (uang kuliah, akomodasi, makan, dan lain-lain) bisa menembus 400-500 juta rupiah! Sebuah angka yang fantastis! Penulis tidak tahu detail pendapatan orang tua setiap bulannya, tetapi bisa merasakan bahwa tidaklah mungkin meminta setengah milyar rupiah. Bisa-bisa dipecat dari status anak! Di sisi lain, penulis juga bertekad bisa lepas dari dukungan finansial orang tua setelah sarjana. Tanpa penulis minta, pernah dalam sebuah obrolan meja makan terlontar secara gamblang bahwa mereka tidak sanggup. Untuk pembaca yang orang tuanya mampu, bersyukurlah karena tidak semua orang bernasib demikian. Jalan kehidupan ini ajaib.

Kebetulan ada LPDP! Terima kasih kepada Farhan Febrianto yang dulu mengenalkan penulis ke LPDP. Sekarang LPDP sudah menjadi buah bibir dan setiap tahunnya terus mengirimkan ribuan penerima beasiswa ke penjuru dunia. Kesempatan emas ini bisa menjadi batu loncatan atau bumerang, tergantung niat Anda.

"Inna mal a'malu bin niat"
"Segala sesuatu bermula dari niat"

Jika Anda menanam biji mangga, maka buah mangga yang kelak Anda petik, tidak mungkin buah apel. Analogi ini bisa diterapkan dalam setiap aspek kehidupan, termasuk tujuan Anda melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Sebagai kesimpulan, mulailah dari diri sendiri untuk meluruskan niat, niscaya semesta mendukung dan menempa kita menjadi pribadi yang arif dan bijak.

Senin, Juli 28, 2014

Sungkem Virtual

Sungkem lebaran kali ini teramat berbeda. Perbedaan jarak menyebabkan hilangnya kontak fisik, tetapi kasih itu akan tetap ada.

Selamat Idul Fitri!

Rabu, Juni 04, 2014

Protes Publik

Protes publik wajar dilontarkan oleh pengguna barang atau jasa ketika pelayanan dirasa tidak memuaskan. Baru-baru ini, seorang teman penulis melakukan protes publik lewat akun Twitter miliknya. Sayangnya, dia justru mendapat hardikan karena terkategorikan bawel menurut perspektif pramudi (supir) dan kenek. Awal cerita bermula dari kicauan berikut: "Salah satu kebiasaan annoying sopir dan kenek kopaja AC adalah nyetel musik keras-keras. Bikin sopir gak konsen, dan annoying jg kan". Cerita lebih detail bisa dilihat di garis waktu Twitter @tiarakami tanggal 3 Juni 2014.

Masih dalam lingkup transportasi, penulis juga pernah melakukan protes publik dan untungnya mendapat respon yang positif dari pemberi jasa. Entah karena protes penulis atau bukan, colokan listrik saat perjalanan kereta pulang bisa berfungsi. Berikut tautannnya: https://twitter.com/gandrie/status/470086616154124288

Ada perbedaan mendasar bagaimana operator transportasi merespon keluhan pelanggan di sini. Pertama, baiklah, Tiara memang tidak mention akun Twitter resmi Kopaja karena memang tidak ada setelah penulis cari lewat Google. Ada akun Twitter @KopajaAC, tetapi kicauan terakhirnya tanggal 24 September 2013 (https://twitter.com/KopajaAC/status/382461270043009025). Kedua, mayoritas operator transportasi di Indonesia belum sampai pada pemikiran bahwa citra dari masyarakat adalah penting karena tidak adanya standardisasi yang dibuat dan diterapkan berbarengan dengan pemerintah. Masyarakat yang tidak punya pilihan harus berhadapan dengan operator yang dengan leluasa berlaku seenaknya.

Transportasi di UK

Terkadang penulis bingung, kok di negara yang melegalkan minuman keras dan terdapat mesin kondom di pojok toilet bisa mengaplikasikan transportasi yang manusiawi seperti bus berhenti pada tempatnya dan trotoar yang menerus. Hal ini sangat memanjakan kaum difabel (differently able) seperti pengguna kursi roda, kaum lansia, dan orang tua dengan kereta bayi. Sedangkan di Indonesia yang (katanya) menjunjung tinggi adat ketimuran malah berbeda 180 derajat.

Penulis pernah naik bus di Leeds dan mendapati sepasang suami-istri dengan kereta bayi menaiki bus dengan mudahnya karena dek bus yang rendah dan tidak ada perbedaan elevasi yang berarti degan trotoar. Di dalam bus ada tempat khusus kereta bayi dan mereka bercanda diselingi dengan gelak tawa bayi. Bahkan, ketika ada pengguna kursi roda yang akan naik, pramudi turun dari bus dan memasang ramp lalu membantu mendorong masuk ke dalam bus. Takjub!

UK menitikberatkan pada pengelolaan dan operasional transportasi secara privat (swasta). Deregulasi bus pada tahun 1985 dan privatisasi BR (British Rail) pada tahun 1994 merupakan tanda dimulainya babak baru terjadinya kompetisi antar-operator. Lewat kompetisi diharapkan bisa terjadi penekanan tarif dan peningkatan pelayanan karena para operator dituntut (berlomba-lomba) memberikan pelayanan terbaik. Operator yang tidak mampu bersaing akan tumbang dengan sendirinya lewat mekanisme pasar. Di sisi yang lain, berbeda dengan monopoli murni oleh pemerintah, privatisasi bisa berujung pada kurangnya integrasi jaringan transportasi. Di sini pemerintah pusat dan daerah berperan sebagai pengontrol agar kedua belah pihak (operator dan pengguna) terjamin kesejahteraannya.  

Transportasi bukan fisika kuantum atau teknologi nano yang hanya bisa dimengerti sebagian kecil orang. Konstitusi adalah omong kosong ketika negara kalah dengan premanisme. Indonesia membutuhkan orang baik, orang cerdas, standardisasi, dan konsistensi.

Minggu, Maret 16, 2014

Ketika Sempit dan Sulit

Robbisrohli sodri
Wayassirli amri
Wahlul 'uqdatammillisaani
Yafkahu kauli

Ya Allah, lapangkanlah dadaku
Mudahkanlah urusanku
Lepaskan kekakuan dari lidahku
Agar mereka mengerti perkataanku

QS Thaha (20): 25-28

Rabu, Februari 19, 2014

Risma

Satu hal yang bisa dipetik dari seorang Risma adalah niat tulus membantu sesama.

Risma 'hanya' lulusan sarjana teknik arsitektur yang kemudian melanjutkan karirnya 'hanya' menjadi PNS dan sempat menjabat sebagai Kepala Dinas Pertamanan dan Kebersihan Kota Surabaya.

Mendengar setiap lantunan jawaban yang ditanyakan oleh Najwa, tercermin bahwa Risma bukan seorang yang mahir beretorika menyulap rangkaian kata menjadi kalimat yang syahdu. Akan tetapi, justru kesyahduan itu dengan sendirinya tercipta lewat ketulusannya menjadi abdi masyarakat.

Kesalehan sosial yang ia implementasikan berakar dari kesalehan pribadi. Ya, pribadi yang terus merasa diawasi oleh Tuhannya dan terus berpikir apa yang bisa diperbuat agar sekitar lebih sejahtera karena alam dunia ini bersifat fana. Sesimpel itu pola pikirnya. Iya, sungguh sesimpel itu. Implikasinya, Tuhan pun tak bosan mengarahkan ke mana ia harus melangkah setiap harinya entah itu Timur, Barat, Selatan, atau Utara.

Sekarang Risma goyah. Tekanan politik membuatnya terlampau lelah.

Yang jelas, Risma telah berhasil menyuntikkan semangat dan inspirasi kepada penulis. Ternyata sebuah simplisitas yang diiringi dengan konsistensi bisa begitu jauh bermakna untuk publik. Kalau Risma tegar, maka kami selaku generasi berikutnya harus lebih tegar.

Doa dari penulis mengalir untukmu, Risma.

Tuhan, kuatkan Risma.

Minggu, Januari 05, 2014

Pak Bisman dan Sukses

Ada beberapa hal yang tertanam dan mengakar dengan kuat dari semua ritme kejadian yang manusia lalui dalam fase hidupnya. Syukur-syukur hal tersebut adalah petuah yang arif dan bijaksana tapi bisa juga kejadian buruk yang justru membuat trauma. Dalam tulisan ini, penulis ingin berbagi satu hal yang entah mengapa tidak bisa pudar dalam benaknya. Sedikit normatif, tetapi layak untuk direnungkan.

SMP Negeri 89 Jakarta Barat adalah sebuah sekolah yang berada di bilangan Tanjung Duren dan berada dekat dengan Pasar Tradisional Tomang Barat, atau lebih dikenal dengan sebutan Pasar Kopro. Sampai sekarang, penulis masih belum tahu apa itu Kopro. Ah, lupakan hal itu sementara. Penulis ingat benar sewaktu kelas I SMP, guru PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) bernama Bapak Bisman Lubis. Perawakannya tambun, logatnya khas, berkacamata, dan berambut hanya di sisi kepalanya. Suatu hari, beliau merumuskan bagaimana cara mencapai sukses. Rumusnya seksi.

          "Sukses = A x B x C x D"

Dengan penuh semangat Pak Bisman menjelaskan setiap komponen dengan menganalogikannya dengan cara mendapat nilai bagus di ulangandulu penggunaan kata ulangan sepertinya lebih populer daripada ujian.

A untuk alat. Sukses butuh modal. Siswa setidaknya harus punya senjata pribadi dalam menggempur soal ujian. Apa saja? Gampang sekali jawabannya. Pulpen, pensil, penghapus, penggaris, tip-ex, dan sebagainya.

B untuk bekerja. Semua dimulai dari usaha diri sendiri. Jaminan nilai jelek di tangan apabila siswa tidak merencanakan waktunya dan tidak mempersiapkan diri dalam ujian. Di sini Pak Bisman menekankan pentingnya bekerja (belajar) dan pembagian waktu.

C untuk cita-cita. Ini mengenai visi jauh ke depan. Cita-citakan nilai bagus dan tanamkan itu terus-menerus. Hal ini penting sebagai koridor agar tidak salah jalan.

D untuk doa. Pasal 29 Ayat 1 UUD 1945 menyebutkan "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa". Manusia berusaha, Tuhan yang memutuskan. Jangan pernah putus alunan doa kepada ilahi.

Satu hal yang perlu diingat bahwa rumus tersebut menggunakan unsur perkalian, bukan penjumlahan. Ketika salah salah satu komponen bernilai nol, maka nilai nol yang akan dihasilkan. Pak Bisman dengan analogi ujiannya; rumus tersebut fleksibel dan bisa diterapkan untuk hal lain.

Penulis tidak pernah berjumpa lagi dengan Pak Bisman semenjak lulus SMP. Atas petuahnya yang berhasil merekat hingga saat ini, sungguh penulis bermunajat semoga beliau selalu berada di dalam lindungan Tuhan.

Penulis berjanji akan menanamkan rumus ini ke generasi penerusnya.

Salam Pancasila!