Jumat, Mei 06, 2016

Salat Jumat

Jumat, satu hari yang paling istimewa dibanding enam yang lain. Pada hari Jumat seorang muslim setidaknya berangkat ke masjid untuk menunaikan Salat Jumat dua rakaat secara berjamaah, sebuah ibadah pengganti Dzuhur yang terdiri dari empat rakaat.

Berbicara mengenai salat berjamaah, kita sering terbuai dengan iming-iming pahala yang konon besarnya 27 kali lipat salat sendiri. Konsep pahala dan dosa terlalu sederhana jika hanya berupa fungsi linear perkalian matematika. Lagipula, itu bukan ranah manusia untuk mengalkukasi besaran pahala yang ia terima.

Terlepas dari itu, ada hal-hal fundamental yang bisa dipetik faedahnya dari salat berjamaah.

  • Ada konsep pemimpin (imam) dan yang dipimpin (makmum).
  • Ada konsep merapatkan barisan (saf).
  • Dan yang tidak kalah penting, ada sosialisasi yang tercipta pasca ibadah selesai. Bisa berupa sekadar senyuman, jabat tangan erat, atau mengobrol ringan.

Dengan adanya Salat Jumat, tercipta sebuah sistem yang mewajibkan laki-laki untuk salat berjamaah setidaknya sekali dalam seminggu. Keunikan lain dari ibadah mingguan ini adalah adanya ceramah sebelum prosesi salat didirikan. Setelah penceramah naik mimbar, para jamaah dilarang berbicara satu sama lain dan diwajibkan untuk fokus mendengarkan isi ceramah.

Seorang ayah niscaya berkata kepada anak laki-lakinya, "Yuk, Nak, Salat Jumat". Sebuah ajakan sederhana sebagai proses mengenalkan Islam. Yang perlu digarisbawahi, proses itu belum selesai dengan ajakan saja, tetapi harus ada pendampingan. Mengapa? Karena isi ceramah adalah sesuatu yang berada di luar kontrol jamaah. Konten ceramah terkadang bisa memekakkan telinga, secara harfiah, karena terucap dengan menggebu-gebu disertai urat leher yang muncul ke permukaan kulit. Yang lebih parah, bukan tidak mungkin konten ceramah justru berupa ajaran yang jauh dari Islam yang mendamaikan. Di situ seorang ayah berperan sebagai pendamping anaknya untuk memfilter ajaran yang melenceng.

Mengutip Pram, di mana pun ada yang mulia dan jahat. Tidak perlu mengagungkan sesuatu atau seseorang sebagai keseluruhan.

Kamis, Maret 31, 2016

Mendekatkan Kota

Cuitan di atas sangat menyentil dan enggan lepas dari dalam pikiran walaupun objek yang dimaksud bukanlah saya. Jika asumsi saya tidak salah, maka saya memiliki kesamaan dengan walikota tersebut: bersepeda (listrik) ke tempat kerja.

Faktanya, jarak dari rumah saya ke kantor sekitar 12 kilometer sekali jalan. Sebuah jarak yang cukup menantang mengingat jalan di Jakarta yang tidak ramah buat para pesepeda. Sedangkan Cigadung - Merdeka di Bandung juga cukup menantang karena kontur yang tidak datar seperti Jakarta. Sepeda (listrik) menjadi salah satu pilihan logis untuk dua kasus di atas.

Waktu tempuh saya hanya 35-40 menit sekali jalan tanpa harus menjadi cendol di dalam angkutan umum. Sebuah kemewahan di kota besar ini.

Masalahnya, baru saya, Pak Walikota, dan sebagian kecil warga yang punya pilihan itu. Mayoritas warga tinggal jauh dari tempat kerja. Mendekatkan kota lewat tata ruang, perpajakan, dan sistem angkutan umum yang baik merupakan solusi jitu yang mudah diucapkan tapi butuh perjuangan untuk dieksekusi. Sekarang saya belum bisa berbuat banyak untuk mendekatkan kota ini. Lekas!

Catatan lain:
Linimasa Twitter masih menarik untuk dipantau. Anda mengikuti akun-akun yang keliru ketika Twitter sudah lagi tak menarik.

Minggu, Februari 21, 2016

Om Bagus

Kabar berpulangnya Om Bagus pertama kali saya dengar dari seorang rekan yang baru bekerja di Telkom. Dia bercerita ada pegawai Telkom yang meninggal karena dirampok lalu dijatuhkan dari Metromini sekitar pukul enam sore. Iya, enam sore, bukan 11 atau 12 malam. Betapa Jakarta jauh dari kata aman.

Keesokan harinya kabar serupa saya dapatkan dari grup sepeda lipat. Beberapa tautan berita daring saya baca. Lidah ini teramat kelu mengetahui sosok Om Bagus yang gemar bersepeda, bermain bulutangkis, dan bepergian dengan angkutan umum. Beliau juga mendambakan sebuah sistem transportasi umum yang manusiawi lewat akun media sosial miliknya. Seolah kejadian ini benar-benar cerminan apa yang saya jalani selama ini.

Kasus Om Bagus tidak sepopuler kopi sianida, revisi UU KPK, atau penertiban di Kalijodo. Pun kepergian Om Bagus masih menyisakan misteri apakah murni kecelakaan atau memang ada unsur pidana. Melalui tulisan ini, saya termasuk orang yang menyalakan lilin agar kasus Om Bagus tidak redup dan berlalu begitu saja.

Revitalisasi sistem angkutan umum di Jakarta punya urgensi yang tinggi. Sungguh menyayat hati ketika mereka yang berjiwa besar, mereka yang mau menepikan kendaraan pribadinya, justru takluk dengan ganasnya jalan ibukota.
Selamat jalan, Om Bagus. Semoga lapang di sana.

Minggu, Januari 17, 2016

Ikigai


Ikigai (生きがい), dengan menggunakan google translate, berarti tujuan dalam hidup (purpose in life). Secara lebih mendasar, ikigai bisa diartikan alasan untuk bangun bergairah di pagi hari. Menarik sekali melihat setiap irisannya.

Pasti sempat terpintas pertanyaan mengapa saya ada di bumi ini, terutama bagi mereka yang baru lulus dari perguruan tinggi dan memulai karier. Istilah quarter-life crisis menjadi populer dan disebut-sebut sebagai frase yang paling pas untuk menggambarkan fenomena ini. Mungkin benar adanya manusia butuh menepi sesaat untuk merenungkan eksistensinya seperti yang dilakukan para pendahulu.

Terlepas dari itu, manusia tidak patut cemas, galau, atau sendu berkelamaan. Katakanlah istilah quarter-life mengasumsikan umur manusia hanya 100 tahun. Kenapa hanya? Karena 100 tahun itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan perjalanan waktu geologi bumi (Binarandi, 2016).

YOLO, make it count.

Jumat, Januari 01, 2016

Energi

Hukum kekekalan energi mengatakan bahwa energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan, energi hanya bisa diubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya.

Setiap manusia sangat wajar punya ketertarikan terhadap suatu benda, orang, pemikiran, pementasan, hingga klub sepak bola. Sayangnya, ketertarikan dan cinta itu seringkali meletup tidak terkontrol sehingga menimbulkan fanatisme. Padahal, ketika rasa itu bisa dialirkan secara proporsional, justru terjalin mutualisme antara subjek dengan objek.

Sebagai contoh, saya mengagumi karya dan pemikiran Cressida Cowell. Dalam sebuah artikel, Cressida menekankan pentingnya mempertahankan buku dan berbagi cerita, terutama untuk anak-anak. Sebuah misi yang sederhana namun sangat berarti.

“Film and TV are great, and I watch loads with my children, but I want books to survive as a medium because they offer something completely different. Films tell you everything, whereas books fill in the gaps. I want to get a generation of children reading for pleasure like I did. We need to stop libraries closing, but children’s book sales are holding up so I hope we are winning the battle. We have only had TV in the last century, but for thousands of years we have sat down and told each other stories.”

Petualangan How To Train Your Dragon berakhir di buku ke-12. Saya berkicau di Twitter dengan tujuan mentransfer energi positif agar ia terus berkarya.

Contoh nyata lainnya adalah Learn To Fly! Jika saya adalah salah seorang personel Foo Fighters, kemungkinan besar saya akan menangis terharu melihat video ini.



*

Suntikkan energi positif ke orang-orang yang kita kasihi atau hargai. Sebaliknya, ketika kita menerima suntikan itu, balas dengan dekapan yang erat. Saya banyak belajar dari pengalaman ini. Tak perlu takut kehabisan amunisi karena kita adalah bagian dari sebuah sistem yang kekal di semesta.