Senin, Januari 30, 2012

The Zahir


Buku ini adalah karya Coelho ketiga yang saya baca. Sebelumnya saya sudah membaca 'The Alchemist' dan 'Veronika Decides to Die'. The Zahir masuk ke dalam jajaran buku favorit saya karena saya sangat senang dengan kedewasaan cinta yang dibahas di dalam buku ini, realistis dan apa adanya. Selain itu, sebagai seorang remaja 21 tahun yang masih ababil dan selalu berusaha mengungkap cinta, buku ini telah membuka mata saya lebih lebar.

Saya meyakini bahwa sebaik-baiknya membaca novel adalah yang bukan terjemahan. Dalam kasus ini, Coelho lahir di Brazil dan menggunakan Bahasa Portugal saat menulis karyanya. Apa daya saya tidak bisa Bahasa Portugal sehingga saya membeli yang versi Inggris. Kenapa bukan yang Indonesia? Untuk novel luar negeri, saya lebih nyaman dengan untaian kata dalam Bahasa Inggris ketimbang Bahasa Indonesia. Selera sih.

The Zahir.

Buku ini menceritakan seorang novelis -sekaligus narator- yang mencari keberadaan istrinya yang hilang. Istrinya, Esther, pergi tiba-tiba tanpa meninggalkan jejak, tanpa alasan. Banyak spekulasi yang muncul dalam benak sang novelis, apakah istrinya direkrut oleh organisasi teroris, diculik, dibunuh, atau memang sengaja meninggalkan pernikahan yang telah mereka bina. Kalaupun Esther pergi karena spekulasi terakhir, apa yang salah dalam diri narator? Apa yang salah dalam pernikahan mereka? Toh narator selama ini hidup nyaman dengan banyak uang dan menjadi terkenal karena buku-buku karangannya.

The Zahir adalah metafora kepergian dan bayang-bayang Esther yang diciptakan narator secara otomatis dalam pikirannya. The Zahir berarti sulit untuk tidak diperhatikan dan selalu mengisi pikiran sekalinya tersentuh. Berdasarkan hal itu, narator mulai mengevaluasi apa yang salah dalam dirinya dan pernikahannya. Dalam sebuah peluncuran buku, narator bertemu dengan seseorang bernama Mikhail yang tahu akan keberadaan Esther dan berjanji mempertemukan mereka. Mikhail menegaskan kalau narator ingin menemukan Esther, pertama dia harus menemukan dirinya terlebih dulu.

Pencarian dimulai.

Diceritakan kalau narator adalah orang yang mudah jatuh cinta. Selama pencarian Esther, narator sering berdiskusi dengan Marie, kisah cintanya saat itu. Marie mencintai sang narator dan berharap suatu saat dia mendapat cinta yang sama dari narator. Namun The Zahir terlalu kuat. Narator memutuskan untuk mencari lalu bertemu dengan Esther. Saya sangat suka percakapan perpisahan antara narator dan Marie dengan segala ungkapan, kejujuran, dan analoginya.

Cerita ini mencapai klimaksnya saat narator berhasil menemukan The Zahir setelah melalui perjalanan dari Perancis menuju Kazakhstan. Pertemuan mereka sangat menyentuh hati. Narator mendekap Esther, menyandarkan kepala ke bahunya, dan mulai menangis mengungkapkan segalanya.

*

Beberapa orang berpendapat seperti berikut:

I hardly fall in love. When I do, I fall very hard.

Pernyataan di atas tidak berlaku buat saya. Saya dengan mudahnya jatuh cinta dan seringkali jatuh dengan keras. Kegagalan terjadi di hubungan yang pernah saya bina. Konyolnya, saya sering tergila-gila dengan perempuan yang bahkan saya belum pernah sekalipun berinteraksi dengannya. Semuanya karena jejaring sosial mulai dari facebook, twitter, tulisan di blog, dan lain-lain. Yang sulit adalah membendung perasaan ini.

Teman saya. Dia sangat heran dengan kepribadian saya yang sebegitu mudahnya tertarik dengan lawan jenis. Sekalinya tertarik sangat sulit untuk dilupakan. Satu lagi teman saya pernah berkata kalau tertarik pertama kali secara fisik (pandangan pertama) itu merupakan suatu hal yang wajar. Dia menekankan jangan berhenti di situ dan harus ada langkah nyata berikutnya untuk mengenal secara kepribadian. Tuhan sangat berperan dalam hal ini dimana Dia yang menciptakan momen atau sebuah tipping point pertemuan. Takdir, ya?

Tidaklah mawar dekati kumbang. Ya, laki-laki yang menyatakan cintanya kepada perempuan. Kodratnya memang seperti itu. Anyway life rolls. God plays His role and so do I. God doesn't play dice with the universe. Everything is interconnected and has a meaning.

Quote yang tidak akan pernah saya lupakan adalah sebuah tweet dari Sudjiwo Tedjo di tahun 2011. Susah nih dijabarkan.

Cinta adalah ketika kuat kau rasakan 'kehadiran' Tuhan dalam diri pasanganmu.

Selasa, Januari 24, 2012

Bumi Medika Ganesha

Gendang telinga saya bolong.

Sewaktu kecil, telinga saya, tepatnya telinga kiri, sering bermasalah dengan mengeluarkan lendir dan kadang terasa sakit. Rasa sakit yang luar biasa sangat dirasakan saat pesawat take-off dan landing. Masalah itu nampak sirna seiring saya beranjak dewasa dengan catatan tidak naik pesawat. Kini masalah itu muncul kembali ke permukaan tepat sehari sebelum semester 8 dimulai, semester dimana saya mulai mengerjakan tugas akhir.

Ceritanya seketika saya membuang lendir dari hidung, telinga kiri saya bindeng dan sempat mengeluarkan cairan. Hal ini bertambah parah apabila saya naik mobil tertutup. Secara otomatis kualitas indra pendengaran saya berkurang. Pergilah saya ke sebuah klinik. Bumi Medika Ganesha namanya.

"Ada dokter THT?" tanya saya.
"Oh, nggak ada. Di sini adanya dokter umum dan dokter gigi." jawab pegawai.
"Ya sudah deh nggak apa-apa. Sama dokter umum saja." tukas saya.

Sehabis proses administrasi, seorang pria memanggil saya untuk masuk ke dalam ruangan. Telinga kiri saya diperiksa dengan sebuah alat khusus lalu dokter meyakinkan kalau gendang telinga saya pecah, bolongnya besar bahkan. Saya tidak kaget. Apabila tidak ingin bermasalah lagi, dokter menyarankan untuk operasi 'menambal' gendang telinga dengan membran khusus di dokter THT. Dokter memberikan antibiotik dan dua jenis obat lagi untuk meredakan sakit.

Dokter menyarankan jangan berenang dulu. Kuliah saya di semester 8 ini sangat lowong sehingga rencananya saya ingin jogging di Saraga, berenang di Saraga, dan bersepeda masing-masing sehari di waktu pagi di setiap minggunya. Sigh, ada sedikit kendala di berenang, sialnya. Melihat raut muka saya yang kecewa, dokter memberikan opsi boleh berenang asal pakai earplug, sebuah alat penyumpal telinga yang terbuat dari gabus atau karet yang berguna mencegah air masuk saat berenang.

Setelah semuanya beres, basa-basi saya melontarkan pertanyaan kepada dokter yang menangani saya. Seorang perempuan yang perawakannya sudah lanjut usia nan bijak.

"Udah lama di sini, Dok?"

"Yah, saya sudah puluhan tahun di sini (28 tahun kalau nggak salah). Dokter yang lain bahkan ada yang sampai 40 tahun, Mas. Semua dokter di sini adalah istri dari pengajar di ITB." tancap dia dengan logat Jawa yang cukup kental.

"Woah, betah banget di sini, ya?"

"Takdir sepertinya yang membawa saya ke sini, Mas. Di sini lebih ditekankan pengabdian. Kalau buka praktek sendiri sih bisa saja dan jelas penghasilan lebih banyak tapi saya senang di sini. Makanya sampai sekarang susah banget loh nyari dokter spesialis. Makanya ndak ada dokter THT di sini. Ini alhamdulillah kita sudah ketemu dokter mata buat BMG, Mas."

"Wah, hebat banget, Dok. Salut saya."

"Namanya juga hidup, Mas. Yang penting ikhlas ngejalanin. Rejeki ndak ke mana toh."

"Iya benar, Dok. Saya tebus obatnya, ya. Nuhun pisan, Dok."

Saya berpikir dan melihat struk. Biaya konsultasi dokter BMG sebesar 30 ribu tapi karena saya mahasiswa ITB ada subsidi sebesar 20 ribu sehingga saya hanya membayar 10 ribu. Seharusnya saya membayar biaya obat sebesar Rp 74.500,00 tapi digratiskan pula. Sebelum meninggalkan ruangan, saya sempat melihat sang dokter membubuhkan stempel nama berwarna merah di atas resep yang dia tulis.

Dokter Yuliati.