Rabu, Juni 04, 2014

Protes Publik

Protes publik wajar dilontarkan oleh pengguna barang atau jasa ketika pelayanan dirasa tidak memuaskan. Baru-baru ini, seorang teman penulis melakukan protes publik lewat akun Twitter miliknya. Sayangnya, dia justru mendapat hardikan karena terkategorikan bawel menurut perspektif pramudi (supir) dan kenek. Awal cerita bermula dari kicauan berikut: "Salah satu kebiasaan annoying sopir dan kenek kopaja AC adalah nyetel musik keras-keras. Bikin sopir gak konsen, dan annoying jg kan". Cerita lebih detail bisa dilihat di garis waktu Twitter @tiarakami tanggal 3 Juni 2014.

Masih dalam lingkup transportasi, penulis juga pernah melakukan protes publik dan untungnya mendapat respon yang positif dari pemberi jasa. Entah karena protes penulis atau bukan, colokan listrik saat perjalanan kereta pulang bisa berfungsi. Berikut tautannnya: https://twitter.com/gandrie/status/470086616154124288

Ada perbedaan mendasar bagaimana operator transportasi merespon keluhan pelanggan di sini. Pertama, baiklah, Tiara memang tidak mention akun Twitter resmi Kopaja karena memang tidak ada setelah penulis cari lewat Google. Ada akun Twitter @KopajaAC, tetapi kicauan terakhirnya tanggal 24 September 2013 (https://twitter.com/KopajaAC/status/382461270043009025). Kedua, mayoritas operator transportasi di Indonesia belum sampai pada pemikiran bahwa citra dari masyarakat adalah penting karena tidak adanya standardisasi yang dibuat dan diterapkan berbarengan dengan pemerintah. Masyarakat yang tidak punya pilihan harus berhadapan dengan operator yang dengan leluasa berlaku seenaknya.

Transportasi di UK

Terkadang penulis bingung, kok di negara yang melegalkan minuman keras dan terdapat mesin kondom di pojok toilet bisa mengaplikasikan transportasi yang manusiawi seperti bus berhenti pada tempatnya dan trotoar yang menerus. Hal ini sangat memanjakan kaum difabel (differently able) seperti pengguna kursi roda, kaum lansia, dan orang tua dengan kereta bayi. Sedangkan di Indonesia yang (katanya) menjunjung tinggi adat ketimuran malah berbeda 180 derajat.

Penulis pernah naik bus di Leeds dan mendapati sepasang suami-istri dengan kereta bayi menaiki bus dengan mudahnya karena dek bus yang rendah dan tidak ada perbedaan elevasi yang berarti degan trotoar. Di dalam bus ada tempat khusus kereta bayi dan mereka bercanda diselingi dengan gelak tawa bayi. Bahkan, ketika ada pengguna kursi roda yang akan naik, pramudi turun dari bus dan memasang ramp lalu membantu mendorong masuk ke dalam bus. Takjub!

UK menitikberatkan pada pengelolaan dan operasional transportasi secara privat (swasta). Deregulasi bus pada tahun 1985 dan privatisasi BR (British Rail) pada tahun 1994 merupakan tanda dimulainya babak baru terjadinya kompetisi antar-operator. Lewat kompetisi diharapkan bisa terjadi penekanan tarif dan peningkatan pelayanan karena para operator dituntut (berlomba-lomba) memberikan pelayanan terbaik. Operator yang tidak mampu bersaing akan tumbang dengan sendirinya lewat mekanisme pasar. Di sisi yang lain, berbeda dengan monopoli murni oleh pemerintah, privatisasi bisa berujung pada kurangnya integrasi jaringan transportasi. Di sini pemerintah pusat dan daerah berperan sebagai pengontrol agar kedua belah pihak (operator dan pengguna) terjamin kesejahteraannya.  

Transportasi bukan fisika kuantum atau teknologi nano yang hanya bisa dimengerti sebagian kecil orang. Konstitusi adalah omong kosong ketika negara kalah dengan premanisme. Indonesia membutuhkan orang baik, orang cerdas, standardisasi, dan konsistensi.