Rabu, Juli 18, 2012

Naik ke Puncak Gunung

Naik, naik, ke puncak gunung.
Tinggi, tinggi sekali.
Kiri, kanan, kulihat saja, banyak pohon cemara.

Agaknya lagu di atas sudah dilupakan oleh anak-anak zaman sekarang. Coba tengok lagu Coboy Junior yang berjudul 'Kamu'. Akh. Belum saatnya anak-anak itu merasakan asmara. Ke mana 'Potong Bebek Angsa', 'Balonku', 'Topi Saya Bundar', dan sejenisnya? Pokoknya anak saya nanti akan saya jaga tontonannya. Loh? Kha-Kha-Kha.

Paragraf di atas hanya intro. Dalam tulisan ini saya ingin menceritakan pengalaman saya naik gunung. Sebenarnya baru dua kali sih saya naik gunung: Manglayang dan Papandayan. Tak apa lah, secuil cerita dari newbie semoga bisa memberikan inspirasi bagi para pembaca.

Tujuannya apa sih naik gunung? Saya yakin setiap orang punya persepsinya sendiri dan tidak sepatutnya ada yang menghakimi pendapat orang tersebut. Toh tidak ada yang salah selama niatnya baik. Kalau saya ada tiga. Pertama, saya gemar menjelajah kawasan yang baru. Sesuatu yang baru biasanya menyegarkan jiwa. Dan ingat, Tuhan menyuruh umat-Nya menjelajah loh! Buka QS. al-Mulk ayat 15. Kedua, Tuhan adalah pelukis terbaik. Saya yakin Tuhan tak sudi memberikan lukisan-Nya secara cuma-cuma. Kasarnya, ada harga, ada kualitas. Ketiga, saya mengincar kebersamaan dengan teman-teman saya. Semakin ekstrem kondisi, sifat asli orang tersebut akan keluar. Di sini letak kebersamaan dan kekompakan diuji. Ketika ego pribadi berhasil dikesampingkan, maka orang tersebut berhasil mengontrol hawa nafsunya dan menaklukkan sisi jahat dirinya.

Seusai Perang Badar, seorang sahabat bertanya. "Ya Rasulullah, adakah perang yang lebih besar daripada Perang Badar ini?" Rasul menjawab, "Ada. Perang itu adalah perang melawan hawa nafsumu sendiri." Saya percaya dengan hal itu.

Tinggalkan hiruk-pikuk kota urban, mari bersatu dengan alam. Ternyata medan penjelajahan tidaklah mudah. Jalan yang terkadang curam dan penuh kerikil senantiasa harus dilewati. Akan tetapi di situ asiknya penjelajahan! Sebuah peribahasa mengatakan bahwa apa yang ditanam, itu yang didapat. Penjelajahan berat itu biasanya berbuah manis di akhir pendakian. Tuhan menyuguhi para pencapai puncak dengan keindahan goresan pena-Nya. Hasil jepret yang ditangkap oleh kamera memang mengagumkan, tetapi percayalah kedua bola mata ini adalah lensa terbaik dengan otak sebagai prosesor terbaik pula yang menghasilkan imaji indah yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata atau foto di dunia maya. Percayalah.

Di pendakian saya yang terakhir, saya mendaki bersama sembilan orang teman saya. Melewati seluruh rangkaian jalur secara bersama-sama membuat kami percaya kalau kebersamaan itu ada. Mengutip kata-kata teman saya bahwa kebahagiaan itu tidak harus mahal, cukup kebersamaan di tengah kesederhanaan. Mulai dari hal kecil, bayangkan saja, botol air mineral yang digilir selama perjalanan dengan sandi "Bagi aer dong, Sob!". Kemudian nasi hangat dicampur dengan mie goreng, sarden, sosis, dan kornet yang terasa begitu nikmat. Serasa makanan di hotel bintang lima karena kebersamaan dan kesederhanaan itu.

Oh iya, kedua pendakian yang saya alami berdurasi dua hari satu malam. Saya menahan eek! Untungnya, alam bawah sadar berhasil mengontrol organ tubuh ini. Sejujurnya, saya masih belum terbayang teknik eek di alam bebas. Suatu saat saya harus bisa! Kha-Kha-Kha!

Ayo naik ke puncak gunung!

Minggu, Juli 15, 2012

Alumni

Sabtu, 14 Juli 2012.

Secara resmi status mahasiswa saya dicopot dari kampus gajah. Sebuah perhelatan akbar digelar di Sasana Budaya Ganesha untuk memfasilitasi mahasiswa yang telah berhasil menempuh studi sarjana. Wisudawan, wisudawati, keluarga, kerabat, angkatan junior, dan angkatan senior yang total jumlahnya ribuan, mungkin juga puluh ribuan, semuanya berkumpul merayakan sebuah momen sakral bernama wisuda.

Pukul lima pagi saya bangun untuk mempersiapkan segalanya mulai dari permukaan hingga ke inti, mulai dari pakaian hingga ke hati. Sebagai laki-laki, persiapan cukup dengan mandi. Lain halnya dengan teman-teman perempuan yang harus make-up dan segala macamnya. Untuk persiapan hati, saya hanya pasrah dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan dengan terus menyebut nama-Nya.

Jujur saja, setiap transisi kehidupan selalu dipenuhi dengan kecemasan, terlebih lagi wisuda sarjana yang baru saja saya alami. Bayangkan saja, dunia yang sebenarnya, yang penuh liku dan tantangan, menanti. Kali ini dunia yang congkak itu harus benar-benar ditaklukkan dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup. Kemandirian diuji, kebergantungan dengan orang tua harus mulai pudar.

Bagi saya, wisuda adalah momen yang sakral. Saya berusaha mencermati dan menikmati setiap rangkaian acara wisuda dengan khidmat. Benar saja, saya menitikan air mata saat bersama-sama membaca janji alumni ITB yang dilanjutkan dengan lagu 'Bagimu Negeri'. Saya takut. Ketakutan itu bukannya tidak berdasar tapi memang pada kenyataannya dibutuhkan konsistensi idealisme pembenahan kebobrokan Indonesia ini. Konsistensi. Itu yang tersulit.

Janji Lulusan ITB

Kami
Segenap lulusan
Institut Teknologi Bandung

Berjanji
Akan mengabdikan ilmu pengetahuan
Bagi kesejahteraan bangsa Indonesia
Perikemanusiaan dan perdamaian dunia

Kami berjanji
Akan mengabdikan
Segala kebajikan ilmu pengetahuan
Untuk menghantarkan bangsa Indonesia
Ke pintu gerbang masyrakat adil dan makmur
Yang berdasarkan Pancasila

Kami berjanji
Akan tetap setia
Kepada watak pembangunan kesarjanaan Indonesia
Dan menjunjung tinggi susila sarjana
Kejujuran serta keluhuran ilmu pengetahuan
Di mana pun kami berada

Kami berjanji
Akan senantiasa menjunjung tinggi
Nama baik almamater kami
Institut Teknologi Bandung

Dilanjutkan dengan lagu 'Bagimu Negeri' yang terlalu sukar dijelaskan kenikmatan dan kecemasannya dengan kata-kata. Tidak berhenti sampai di situ, saya langsung teringat dengan profil alumni yang tertera di Rancangan Umum Kaderisasi (RUK) KM ITB yang sempat dibacakan oleh reflektor dua hari sebelum hari wisuda. Saya tidak ingat persis sehingga saya browsing untuk mengetahuinya.

Seorang alumni mahasiswa ITB diharapkan mencapai kondisi:
Sadar dengan sifat alumni perguruan tinggi.
Sadar kewajiban sebagai seorang sarjana program studi tertentu.
Sadar akan kewajiban memahami realitas bangsa.
Sadar akan kewajiban menempatkan kesarjanaan di tengah realitas bangsa.
Sadar akan peran pendidikan Indonesia.

Ngeri. Janji dan profil alumni ITB memiliki konten yang ngeri. Berat. Tantangan di depan semakin berat. Ditambah lagi harus menafkahi istri dan anak nanti. Loh? Kha-Kha-Kha. Jangan takut dan jangan layu, ayo bentuk masa depan.

Untuk Tuhan, bangsa, dan almamater.

Kamis, Juli 12, 2012

A Poem

"I have never cared for castles or a crown that grips too tight. 
Let the night sky be my starry roof, and the moon my only light.
My heart was born a Hero, my storm-bound sword won't rest.
I left the Harbor long ago on a never-ending Quest.
I am off to the horizon, where the wild wind blows the foam.
Come get lost with me, Love, and the sea shall be our home..."

Tantrum O'UGerly