Sabtu, Januari 26, 2013

Ainun

Sudah nonton Habibie & Ainun?

Menurut saya, Habibie adalah seorang sosok ideal yang berhasil di dalam tiga bidang: teknologi, nasionalisme, dan cinta. Sebenarnya impian Habibie itu sangat sederhana: dia ingin Indonesia memiliki teknologi pesawat terbang karya anak bangsa. "Pokoknya, Indonesia harus bisa buat pesawat sendiri!", saya yakin kalimat itu yang selalu terpatri di dalam benak Habibie. Dengan niat yang baik dan dibarengi dengan kerja keras, Tuhan memberikan jalan.

Konon katanya, di samping laki-laki sukses, ada perempuan yang senantiasa setia mendampingi. Saya yakin berlaku sebaliknya: di samping perempuan sukses, ada laki-laki yang senantiasa setia mendampingi. Di sini letak peran seorang Ainun dalam kehidupan Habibie. Ada yang diciptakan untuk berakting di depan layar tapi ada juga yang berperan di belakang layar. Keduanya memiliki peran tersendiri dan sama pentingnya. Saya yakin tidaklah mudah menjadi seorang perempuan; menjadi seorang istri. Terlebih lagi istri seorang teknokrat besar semacam Habibie.

Begini. Bayangkan. Seorang suami pasti menceritakan setiap detail liku kehidupan kepada istrinya. Oh, dan saya yakin tidak ada laki-laki yang suka dengan kecerewetan perempuan. Maksudnya, cukuplah perempuan menjadi pendengar yang baik. Gampang kah? Tidak.

Ketika cerita itu mengalir, secara otomatis, mau atau tidak mau, sang istri akan ikut memikirkan bagaimana seharusnya ia berbuat ke depannya. Walaupun pada kenyataannya, saat proses penumpahan cerita berlangsung, istri hanya bisa manggut-manggut dan berpesan sabar. "Nggih, Mas. Sabar, ya. Pasti ada kok jalannya. Yuk, kita jalani bersama". Pun dengan reaksi seperti itu, sang suami merasa jauh lebih lega walaupun sebenarnya masalah masih ada dan solusi belum ditemukan. Kira-kira seperti itu.

Tidak ada yang salah. Adalah sebuah kewajaran terjadi curahan hati dalam pasangan. Namun, saya mencoba melihat dari sudut pandang perempuan. Ditambah lagi sisi emosional perempuan sangatlah sensitif dan fluktuatif akibat gejolak hormon di dalam tubuhnya yang terjadi setiap jangka waktu tertentu dan terus berlangsung hingga tiba masa menopause.

Nah, bayangkan Anda menjadi Ainun lalu Habibie curhat bahwa dia akan menjadi menristek, dia akan menjadi wakil presiden, dia akan menjadi presiden, dia memutuskan untuk melepas Timor Timur, dan skenario kehidupan lain yang ukurannya tidaklah sekecil biji zarah. Skalanya luar biasa besar. Saya tidak begitu mengamati Habibie dan Ainun dulu, tetapi setelah Ainun meninggalkan dunia ini, saya sadar bahwa Habibie-Ainun adalah satu kesatuan yang saling bersandar.

Saya angkat topi untuk Ainun.
Seorang perempuan luar biasa yang berhasil dengan ikhlas mengerem egonya.
Sesuatu yang melebihi sabar.

Selasa, Januari 22, 2013

Keakuan

Ke-aku-an.

Hampir dua puluh tiga tahun saya hidup di dunia ini. Betapa banyak saya temukan orang hebat yang memiliki idealisme dan cara pandangnya masing-masing. Di sisi lain, betapa jarang saya temukan orang hebat yang berhasil mengerem rasa keakuan yang ada di dalam dirinya.

Maksud saya, mereka berdiri sendiri seolah-olah merasa menjadi satu-satunya senjata ultimate untuk pembenahan semua kekacauan yang ada sekarang dan masa depan. Kebanyakan mencap dirinya sudah baik dan benar, tetapi tidak memandang individu lain di sekitar mereka. Terlebih lagi yang tidak sepaham dianggap hina dan tolol.

Rasa keakuan yang terlampau tinggi bahkan bisa berujung ekstrem: pemusnahan massal bagi mereka yang tidak sepaham dengannya. Padahal dalam agama saya tertera bahwa Tuhan menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal, bukan saling memusnahkan.

Saya sih tidak peduli dengan mereka yang bertato di sekujur tubuh, dengan mereka yang tidak beragama, dengan mereka yang berpoligami, bahkan dengan mereka yang mengubah kelaminnya. Orang-orang hebat yang saya sebutkan tadi kebanyakan mencap mereka sebagai suatu entitas yang suram dan tidak layak hidup. Kasus-kasus yang saya sebutkan termasuk kondisi ekstrem sih.

Nah, yang saya tekankan adalah dalam kehidupan sehari-hari bahkan terdapat hal sepelejauh dari kasus ekstrem yang telah saya sebutkanyang tetap membuat rasa keakuan itu tinggi sekali. Ah, malas betul berinteraksi dengan orang semacam ini. Keakuannya tinggi sekali! Seolah dia membangun benteng virtual yang mampu menahan pendapat, selera, ide, dan pemikiran yang berasal dari luar.

Mari berusaha melihat orang secara objektif atau berdasarkan apa yang telah dia perbuat. Bukankah selama seorang tidak mengganggu, bahkan bermanfaat, dia layak mendapat perlakuan yang sama, yang adil di mata masyarakat?

Gusti Allah mungkin heran karena banyak ciptaan-Nya yang berbeda-beda tapi hendak disamakan oleh manusia.
-Ndoro Kakung

Selasa, Januari 08, 2013

Keselamatan di Jalan

Dunia road safety (keselamatan di jalan) di Indonesia, terutama di Jakarta, seringkali ternoda dengan berita kecelakaan yang menyebabkan korban luka. Lebih parahnya lagi, jalan raya seolah sudah menjadi lahan favorit Malaikat Izrail menuntaskan tugasnya. Nyawa seakan sudah terbiasa melayang di jalan. Secara umum, ada tiga hal yang harus diperhatikan agar perpindahan manusia bisa berlangsung dengan aman:

1. Kendaraan
2. Infrastruktur jalan
3. Driving behavior (perilaku berkendara)

Pertama, saya yakin bahwa teknologi otomotif zaman sekarang sudah sangat mengamankan penggunanya bahkan bila terjadi kecelakaan. Fitur keselamatan sudah menjadi fokus bagi pengembang teknologi mobil dan sepeda motor. Mobil atau sepeda motor yang mengedepankan aspek keselamatan dengan sendirinya akan bernilai jual tinggi karena memang dibutuhkan penelitian dan pengembangan bertahun-tahun lamanya menuju ke arah yang lebih aman. Tak heran jika kendaraan yang berharga mahal pasti lebih mengamankan pengendaranya dari sisi teknologi. Ada harga, ada kualitas (keselamatan).

Kedua, infrastruktur jalan adalah tanggung jawab negara. Pemerintah wajib menyediakan perlengkapan jalan beserta fasilitas pendukung yang mumpuni untuk warga negaranya. Semuanya sudah tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 yang berisi tentang lalu lintas dan angkutan jalan. Akan tetapi, apa arti sebuah konsep yang matang tanpa ada implementasi yang tegas dan konsisten di lapangan? Peraturan itu hanya akan menjadi setumpuk kertas tak berarti.

Di antara tiga poin yang telah saya sebutkan di awal, menurut saya, perilaku berkendara memegang peranan terpenting dalam hal keselamatan berlalulintas.  Human error adalah faktor utama penyebab kecelakaan. Mirisnya, maksud error yang saya sebutkan lebih mengacu kepada terbiasa dengan error. Ya, terbiasa dengan yang salah.

Pengguna kendaraan bermotor seringkali mengabaikan hal-hal kecil namun mendasar dalam berlalulintas. Perlu diingat bahwa jalan adalah ruang publik. Pengabaian hal yang bersifat esensial dapat berakibat fatal bukan hanya kepada kita, tetapi juga orang lain di sekitar kita yang menggunakan ruang jalan yang sama. Berdasarkan hal ini, banyak contoh pertanyaan yang bisa menjadi cambuk buat kita:

Apakah kita menerobos lampu merah?
Apakah kita menggunakan helm saat berkendara dengan sepeda motor?
Apakah kita berhati-hati, tengok kanan-kiri, selama menyeberang jalan?
Apakah kita menggunakan jembatan penyeberangan apabila disediakan?
Apakah kita melebihi batas kecepatan yang telah ditentukan?
Apakah kita berhenti di belakang garis stop?
Apakah kita memasang spion dengan baik dan benar?
Apakah kita naik dan/atau turun ke/dari angkutan umum di tempat yang benar?
Apakah kita menghidupkan lampu sein sebelum berbelok?
Apakah kita mematikan lampu sein sesudah berbelok?
Apakah kita memberikan prioritas kepada pejalan kaki dan pesepeda?
Apakah kita menggunakan lajur Transjakarta untuk kendaraan pribadi?
Apakah kita menggunakan trotoar untuk berkendara dengan sepeda motor?

Jalan raya adalah milik bersama dan sudah sepantasnya ada rasa toleransi dan saling menghargai. Ada yang salah ketika kita terbiasa dengan yang salah. Berlalulintas adalah cerminan budaya seseorang dan budaya berawal dari kebiasaan. Ketika terbiasa dengan suatu hal, budaya itu akan mengakar dengan kuat di alam bawah sadar dan sulit dilepas. Apa jadinya kalau yang tertanam adalah sebuah kebiasaan yang buruk?

Poin saya dalam tulisan ini, sadar tidak sadar, ketika kita mengabaikan nilai esensial berlalulintas, kita telah mewariskan sesuatu yang buruk kepada orang-orang di sekitar kita. Terlebih lagi pewarisan nilai ke anak-anak yang notabene adalah peniru ulung orang dewasa di sekitarnya. Mereka meniru apa yang orang dewasa lakukan sehari-hari.

Dilihat secara makro, jika terjadi suatu kecelakaan, bisa jadi bahwa kita adalah dalang di balik semua tragedi berdarah dalam berlalulintas karena telah mentransformasi sebuah nilai yang buruk. Ya, bisa jadi kita adalah pembunuh sebenarnya. Bisa jadi ternyata kita adalah seorang pembunuh keji yang justru merasa biasa saja dengan mencabut nyawa orang. Bayangkan jika itu terjadi di dalam keluarga kita sendiri. Kita telah membunuh orang yang kita cintai. Ironis.

Pada akhirnya, tanpa memandang buruknya kualitas dan kuantitas infrastruktur yang telah disediakan oleh pemerintah dan terlepas dari belum tegaknya hukum di Indonesia, masihkah kita mengutamakan keselamatan di jalan?

Jika tidak, maka yakinlah jalan raya akan menjadi tempat yang paling angker. Ditambah lagi, jangan pernah berharap keturunan kita akan membawa negeri ini ke arah yang lebih baik.

Jika iya, maka yakinlah kita adalah orang paling keren yang ada di muka Bumi ini. Secuil perilaku baik itu telah bermanfaat besar bagi kita dan orang-orang di sekitar kita sebagai sesama pengguna jalan.