Rabu, Maret 30, 2011

Identitas

Lebih baik aku lontarkan semua daripada kupendam sehingga batinku yang meledak. Aku tekankan bahwa blog ini adalah media luapan pemikiran dan perasaanku sehingga tidak ada yang berhak membenarkanku kecuali SARA memang tersinggung, baik sengaja maupun tidak sengaja.

Baiklah, aku ingin mengungkapkan suatu hal. Dua kali aku mengalami hal ini, menyaksikan lebih tepatnya. Sang raja berkata kepada rakyatnya dalam sebuah pertemuan, "Di mana identitas kalian? Di mana identitas kerajaan kita?".

Bagiku, semua itu adalah omong kosong.

Kita berada dalam kerajaan yang sama. Ini internal kerajaan kita. Tak peduli rakyat memakai identitas kerajaan atau tidak, raja tidak perlu bertanya demikian karena seharusnya dia tahu kalau yang ada di hadapannya adalah rakyatnya. Rakyat yang sudah berusaha loyal kepadanya.

Komandan pernah menyerukan kalau kerajaan ini tidak dinilai dari simbol dan sejarahnya. Kerajaan ini ada di sini, di dada dan hati setiap rakyatnya. Aku tidak akan pernah lupa momen mengharukan itu.

Menurutku, identitas itu penting ketika rakyat berlaga di luar kerajaan. Berlaga untuk mengharumkan nama kerajaan yang ada di hatinya. Identitas itu penting agar kerajaan lain tahu kalau inilah kerajaan kami! Di sini aku mengatakan penting, bukan kewajiban.

Identitas itu tidak harus selalu melekat di tubuh rakyat, wahai raja.


*

Aku yakin beberapa orang setuju dengan pendapatku. Di sisi lain, ada juga beberapa orang yang tidak setuju. Itu hal yang biasa. Dunia ini tidak akan indah tanpa adanya perbedaan pendapat.

Jumat, Maret 18, 2011

Sepeda

Sepeda lagi, Sob!
"Gan, lu kan ada motor, kenapa malah naek sepeda?", tanya seorang temanku. Jawabannya adalah karena gue seneng bersepeda. Sesimpel itu kok.

Bisa dibilang harga modifikasi sepeda gue lebih mahal daripada harga sepeda gue saat dulu beli. Entah mengapa, enak aja ganti part yang satu dengan part lain yang spesifikasinya lebih bagus. Selain kenyamanan, part sepeda merupakan fungsi 'gaya'. Bergaya maksudnya. Kendalanya? Tahu lah. Duit, Sob. Haha. Satu-satunya part yang gak akan gue ganti adalah frame (rangka). Mengapa? Karena di dalam frame sepeda tersimpan nyawa, jiwa, dan memori bersepeda. Hehe.

Sepeda gue yang sekarang adalah Polygon Spy 3.0. Nanti sepeda ini bakal gue wariskan ke anak gue. Lalu gue akan beli sepeda baru, Polygon Cozmic CX 4.0. Sumpah cantik banget itu sepeda. Gue sedang tergila-gila dengannya. Akan tetapi harganya gak nahan, Sob. Berapa? 10 juta minus 100 ribu. Haha. Nih penampakannya, Gan:

Lalu sepeda gue yang sekarang akan gue pasangi boncengan depan belakang. Buat apa? Buat anak-anak gue nanti. Gue gonceng mereka pagi-pagi atau sore-sore keliling komplek. Manteb banget kan cita-cita gue? Sayang anak. Sayang anak. Haha. Nih gambarnya, Gan:

Dan gue menemukan sebuah video menarik tentang sepeda. Kejadiannya di Utrecht, sebuah kota di negeri kincir angin alias Belanda. Betapa semua orang bersepeda. Betapa lancarnya arus lalu-lintas. Kapan ya Indonesia bisa seperti itu? Mulai dari diri sendiri, kan?


Go! Go! Go! Gowes!
Salam gowes dan sebarkan cinta!

Kamis, Maret 17, 2011

Pokemon

Siapa yang tidak tahu dengan Pokemon?
Baiklah, sedikit banyak Pokemon sempat singgah di masa kecil gue. Dulu setiap hari Minggu pagi di sebuah stasiun televisi swasta ditayangkan satu episode Pokemon. Menurut gue asik banget kalau seperti dunia Pokemon. Gue berpetualang keliling dunia bersama Pokemon yang bisa jadi sahabat gue.

Pokemon tidak lepas dari kontroversi.
Sempat ada kontroversi tentang nama beberapa Pokemon yang diindikasikan mengandung arti bahasa Yahudi yang bisa mempengaruhi iman seorang Muslim. Ah, tapi menurutku selama pribadi Muslim itu bisa memfilter, tidak ada masalah mengikuti serial Pokemon.

Ada sebuah video yang berisi akapela dari lagu pembuka Pokemon. Putar, kocak aja menurut gue. Apalagi dua cowo yang tangannya banyak gerak itu. Haha.


Gambar juga ada yang kocak.

Dan Pokemon favorit gue adalah Squirtle!
Kura-kura biru dan bulat sepertinya menarik untuk dijadikan partner jika memang dia ada.
Squirtle! Hydro Pump!

Selasa, Maret 08, 2011

Teknik Sipil

Terkadang aku salut dengan teman-temanku yang sejak SMA sudah membulatkan tekad untuk masuk teknik sipil ITB. Alhasil, mereka dengan bangga mendapatkan titel mahasiswa teknik sipil ITB sekarang.

Sistem pendidikan di ITB mengharuskan mahasiswa baru untuk melewati TPB (Tahap Persiapan Bersama) selama satu tahun. Jadi, sebelum masuk ke program studi yang ilmunya lebih spesifik, mahasiswa baru digodok terlebih dahulu dengan kemampuan dasar seperti kalkulus, fisika, kimia, olahraga, tata tulis karya ilmiah, dan lain-lain.

Untuk masuk ke program studi teknik sipil, seorang harus memilih dan mendapatkan FTSL (Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan) sebagai TPB-nya. FTSL sendiri terdiri dari tiga program studi: Teknik sipil, teknik lingkungan, dan teknik kelautan. Di akhir tahun pertama akan ada penjurusan untuk memilih salah satu di antara tiga program studi tersebut berdasarkan minat dan indeks prestasi.

Apa cerita seorang Gandrie?

Aku sadar bahwa aku tidak piawai dalam menyelesaikan soal fisika. Aku tidak suka dengan fisika. Kelas 2 SMA, aku mulai mencari informasi tentang perguruan tinggi mana yang cocok untukku meniti ilmu. Singkat kata, aku memilih teknik industri ITB. Pikiranku saat itu, jurusan teknik industri pasti akan sangat menarik karena menggabungkan ilmu teknik dengan bumbu manajemen untuk megoptimalkan suatu industri.

Aku membulatkan tekad untuk masuk ke teknik industri ITB.

Berarti aku harus masuk FTI karena jurusan yang aku inginkan ada di fakultas itu. Sejak awal kelas 3 SMA, sebuah poster bertuliskan "Teknik Industri ITB! Here I Come!" terpampang dengan megah di kamarku. Untuk masuk ITB, ada dua kesempatan yakni USM 1 dan USM 2. Tidak mau (lebih) memberatkan kedua orang tuaku tentang uang, aku hanya mengambil USM 2, terpusat, di Bandung, di ITB.

Aku hanya memiliki satu kesempatan.

Hidup adalah perjuangan benar-benar aku rasakan selama kelas 3 SMA. Belajar di tempat bimbingan hingga larut malam. Mengerjakan buku tes potensi akademik berkali-kali. Mengikuti try out berulang kali. Baiklah, soal USM sudah ada di hadapanku. Dua hari ujian saringan masuk itu berlangsung. Selesai USM, aku hanya bisa pasrah.

Penuh pengharapan aku memasukkan nomor registrasi apakah aku diterima atau tidak di ITB. Seandainya diterima, di fakultas apa? Pilihanku: FTI, FTTM, dan FTSL. Enter. Aku diterima, aku diterima di FTSL, bukan FTI. Perasaanku layaknya permen nano-nano saat itu. Manis, asam, dan asin, ramai rasanya, semuanya ada. Entah, aku sedih dan kecewa, namun juga senang.

Ibuku berkata bahwa semua keputusan ada di tanganku. Aku ambil FTSL itu. Di akhir TPB, aku memilih teknik sipil sebagai pilihan pertama. Aku sadar bahwa teknik sipil penuh dengan mekanika, fisika, dan teman-temannya itu. Teknik lingkungan ada biologi dan kimia, aku tidak suka. Teknik kelautan jauh lebih sulit menurutku. Oleh karena itu aku (lebih) memilih teknik sipil.

Benar saja, aku disuguhi dengan mata kuliah struktur yang penuh dengan gaya, momen, geser, dan lain-lain. Sungguh bukan diriku. Terus bertahan, aku melihat peluang ternyata ada bidang teknik sipil yang tidak menghitung jembatan dan bangunan tinggi itu. Ada ilmu teknik sipil yang berbicara tentang sistem dan manajemen. Sebut saja transportasi dan juga manajemen dan rekayasa konstruksi.

Aku condong ke dua bidang itu untuk tingkat akhir nanti. Tidak lagi aku mau berkutat dengan ke-strukturan. Walaupun demikian, aku tidak menjamin diriku akan berkecimpung di dunia teknik sipil di masa depan. Entah mengapa. Yang jelas, aku mau dan harus bisa melanjutkan pendidikan S2 di luar Indonesia tanpa campur tangan suntikan dana dari orang tua. Apa yang mau aku dalami? Entah. Mungkin manajemen, mungkin transportasi, mungkin perencanaan kota dan regional, dan masih banyak mungkin-mungkin yang lain.

Aku bangga menjadi mahasiswa teknik sipil ITB.

Guide me, Dear Allah. Show me your light, please.
Learning from the past, managing the present, shaping the future.

*

Inspirasi tulisan ini berawal di kuliah ke-sekian analisis struktur dengan metode matriks. Aku sudah sangat jenuh dengan variabel-variabel yang menurutku tidak nyata itu.

We do all have choices, right? And we're the decision maker of our life journey. Mine not structure. Period.