Selasa, Januari 08, 2013

Keselamatan di Jalan

Dunia road safety (keselamatan di jalan) di Indonesia, terutama di Jakarta, seringkali ternoda dengan berita kecelakaan yang menyebabkan korban luka. Lebih parahnya lagi, jalan raya seolah sudah menjadi lahan favorit Malaikat Izrail menuntaskan tugasnya. Nyawa seakan sudah terbiasa melayang di jalan. Secara umum, ada tiga hal yang harus diperhatikan agar perpindahan manusia bisa berlangsung dengan aman:

1. Kendaraan
2. Infrastruktur jalan
3. Driving behavior (perilaku berkendara)

Pertama, saya yakin bahwa teknologi otomotif zaman sekarang sudah sangat mengamankan penggunanya bahkan bila terjadi kecelakaan. Fitur keselamatan sudah menjadi fokus bagi pengembang teknologi mobil dan sepeda motor. Mobil atau sepeda motor yang mengedepankan aspek keselamatan dengan sendirinya akan bernilai jual tinggi karena memang dibutuhkan penelitian dan pengembangan bertahun-tahun lamanya menuju ke arah yang lebih aman. Tak heran jika kendaraan yang berharga mahal pasti lebih mengamankan pengendaranya dari sisi teknologi. Ada harga, ada kualitas (keselamatan).

Kedua, infrastruktur jalan adalah tanggung jawab negara. Pemerintah wajib menyediakan perlengkapan jalan beserta fasilitas pendukung yang mumpuni untuk warga negaranya. Semuanya sudah tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 yang berisi tentang lalu lintas dan angkutan jalan. Akan tetapi, apa arti sebuah konsep yang matang tanpa ada implementasi yang tegas dan konsisten di lapangan? Peraturan itu hanya akan menjadi setumpuk kertas tak berarti.

Di antara tiga poin yang telah saya sebutkan di awal, menurut saya, perilaku berkendara memegang peranan terpenting dalam hal keselamatan berlalulintas.  Human error adalah faktor utama penyebab kecelakaan. Mirisnya, maksud error yang saya sebutkan lebih mengacu kepada terbiasa dengan error. Ya, terbiasa dengan yang salah.

Pengguna kendaraan bermotor seringkali mengabaikan hal-hal kecil namun mendasar dalam berlalulintas. Perlu diingat bahwa jalan adalah ruang publik. Pengabaian hal yang bersifat esensial dapat berakibat fatal bukan hanya kepada kita, tetapi juga orang lain di sekitar kita yang menggunakan ruang jalan yang sama. Berdasarkan hal ini, banyak contoh pertanyaan yang bisa menjadi cambuk buat kita:

Apakah kita menerobos lampu merah?
Apakah kita menggunakan helm saat berkendara dengan sepeda motor?
Apakah kita berhati-hati, tengok kanan-kiri, selama menyeberang jalan?
Apakah kita menggunakan jembatan penyeberangan apabila disediakan?
Apakah kita melebihi batas kecepatan yang telah ditentukan?
Apakah kita berhenti di belakang garis stop?
Apakah kita memasang spion dengan baik dan benar?
Apakah kita naik dan/atau turun ke/dari angkutan umum di tempat yang benar?
Apakah kita menghidupkan lampu sein sebelum berbelok?
Apakah kita mematikan lampu sein sesudah berbelok?
Apakah kita memberikan prioritas kepada pejalan kaki dan pesepeda?
Apakah kita menggunakan lajur Transjakarta untuk kendaraan pribadi?
Apakah kita menggunakan trotoar untuk berkendara dengan sepeda motor?

Jalan raya adalah milik bersama dan sudah sepantasnya ada rasa toleransi dan saling menghargai. Ada yang salah ketika kita terbiasa dengan yang salah. Berlalulintas adalah cerminan budaya seseorang dan budaya berawal dari kebiasaan. Ketika terbiasa dengan suatu hal, budaya itu akan mengakar dengan kuat di alam bawah sadar dan sulit dilepas. Apa jadinya kalau yang tertanam adalah sebuah kebiasaan yang buruk?

Poin saya dalam tulisan ini, sadar tidak sadar, ketika kita mengabaikan nilai esensial berlalulintas, kita telah mewariskan sesuatu yang buruk kepada orang-orang di sekitar kita. Terlebih lagi pewarisan nilai ke anak-anak yang notabene adalah peniru ulung orang dewasa di sekitarnya. Mereka meniru apa yang orang dewasa lakukan sehari-hari.

Dilihat secara makro, jika terjadi suatu kecelakaan, bisa jadi bahwa kita adalah dalang di balik semua tragedi berdarah dalam berlalulintas karena telah mentransformasi sebuah nilai yang buruk. Ya, bisa jadi kita adalah pembunuh sebenarnya. Bisa jadi ternyata kita adalah seorang pembunuh keji yang justru merasa biasa saja dengan mencabut nyawa orang. Bayangkan jika itu terjadi di dalam keluarga kita sendiri. Kita telah membunuh orang yang kita cintai. Ironis.

Pada akhirnya, tanpa memandang buruknya kualitas dan kuantitas infrastruktur yang telah disediakan oleh pemerintah dan terlepas dari belum tegaknya hukum di Indonesia, masihkah kita mengutamakan keselamatan di jalan?

Jika tidak, maka yakinlah jalan raya akan menjadi tempat yang paling angker. Ditambah lagi, jangan pernah berharap keturunan kita akan membawa negeri ini ke arah yang lebih baik.

Jika iya, maka yakinlah kita adalah orang paling keren yang ada di muka Bumi ini. Secuil perilaku baik itu telah bermanfaat besar bagi kita dan orang-orang di sekitar kita sebagai sesama pengguna jalan.

Tidak ada komentar: