Senin, Desember 27, 2010

Empat Serangkai Pengantre Tiket

Gandrie, Ghazi, Andi, dan Yusuf.
26 Desember 2010.

Sebut saja mereka pengantre tiket. Berjuang demi sejumlah tiket agar bisa menonton final leg 2 secara langsung di SUGBK.

Janjian di loket seberang Mesjid Al-Bina pukul setengah tujuh pagi. Pukul 6.25 aku sudah berada di dekat TVRI tapi jalanan sangat macet dan mengharuskanku berjalan kaki. Walhasil aku telat menemui tiga orang temanku yang sudah mengantre. Memanfaatkan kelangsingan badan, aku selap-selip sehingga berada dekat mereka.

Waktu masih menunjukkan pukul 8 pagi sedangkan loket dibuka pada pukul 10 pagi. Ribuan orang berusaha mencari cara untuk mengusir rasa bosannya, mulai dari merokok, meneriakkan "Nurdin turun!", sarapan pagi, dan lain sebagainya. Dibutuhkan fotokopi KTP saat membeli tiket nanti. Orang yang lupa dengan hal itu mau-tidak-mau menggunakan jasa fotokopi dengan harga yang tidak wajar, sepuluh ribu rupiah per KTP.

Ada yang lucu saat KTP dikembalikan satu per satu. Nama yang tertera di KTP diteriakkan lalu orang yang bersangkutan segera mengambil identitas dirinya beserta fotokopinya. Tiba-tiba nama "Sopan Santun" diteriakkan. Kontan semua orang langsung tertawa. Hiburan yang menggelikan memang. Haha.

Ada lagi. Yusuf memegang sebotol air mineral. Kemudian dia dicolek oleh seorang lelaki paruh baya. Lelaki itu meminta botol jika airnya sudah habis. Ya, untuk buang air kecil. Kami semua heran dan takjub.

"WOI YANG DEPAN DUDUK, ANJING!"
"WOI YANG BELAKANG JANGAN DORONG!"
"BANGSAT, YANG KIRI ANTRE DONG!"
"YANG AUS, YANG AUS, AQUA, QUA, QUA!"

Kalimat-kalimat di atas sering digemakan oleh massa selama kami mengantre.

Pukul 10 pagi. Loket tak kunjung dibuka. Ribuan pengantre mulai 'panas'. Semua dalam kondisi tertekan, dalam arti yang sebenarnya. Himpitan manusia dari kanan-kiri-depan-belakang bukan hal yang aneh lagi. Beberapa orang yang tidak kuat segera digotong ke pinggir. Aku yakin 98% pengantre adalah kaum adam tapi jangan salah, ada juga kaum hawa yang nekat mengantre.

Wonder woman, eh? Atau I wonder if she's a woman?

Gencatan segala arah semakin parah. Loket baru dibuka pukul setengah sebelas. (Dari awal) antrean tidak teratur, begitu loket dibuka, jelas tambah parah. Di tengah kericuhan, aku terpisah dari tiga temanku lalu berusaha sebisa mungkin mencapai loket. Aku bulatkan tekad untuk meraih tiket ketika posisiku sudah sangat dekat dengan loket tapi tekad tersebut sirna karena raga ini sudah tidak kuat lagi.

Aku menyingkirkan diriku dari keramaian lalu kupanjat pagar. Berjalan tiada henti hingga akhirnya terkapar di rumput hijau. Baju basah kuyup karena keringat. Pupus harapanku mendapatkan 5 buah tiket final. Beberapa menit kemudian muncullah secercah harapan. Pagar yang aku panjat dibuka. Terdapat dua banjar yang diatur oleh petugas masuk ke arah stadion. Diam-diam aku menyelinap.

Dua banjar panjang tersebut dibawa ke arah yang tak menentu, diputar-putar dan sepertinya panitia memang tidak punya rencana cadangan. Akhirnya dua banjar itu dibawa masuk ke dalam stadion. Pembelian tiket diatur sedemikian rupa dan menurutku cukup rapi. Tiba giliranku.

5 buah tiket di tangan!















Perjuanganku belum selesai. Bagaimana caranya keluar dari stadion? Antrean massa di luar sudah sangat panjang. Tiba-tiba kegaduhan muncul. Massa seperti zombie di mana hanya tiket yang ada dalam pikiran mereka. Anarkisme merajalela. Pintu bergembok ditendang berkali-kali. Pintu jeruji dihantam dengan emosi.

Pintu jebol.

Ribuan massa dengan bebas masuk. Petugas dikeroyok dan dipukuli di depan kedua mataku. Tak mau ikut-ikutan, aku keluar dari stadion melalui pintu yang dibobol massa. Perjuanganku selesai. Fiuh.

Bagaimana nasib ketiga temanku? Aku tak tahu. Kukabari mereka lewat pesan singkat. Ternyata mereka masih berjuang mengantre dan memang semuanya digiring ke dalam stadion. Aku menunggu mereka hingga pukul 3 sore. Lumayan untuk istirahat dan jajan sana-sini terlebih dahulu. Setelah mendapat pesan singkat, kami bertemu di suatu tempat. Sayang sekali tidak satu pun di antara ketiga temanku yang berhasil mendapatkan tiket.

Sepertinya pengalaman ketiga temanku ini lebih seru. Mereka menceritakan kalau situasi di dalam stadion sudah sangat kacau. Orang yang membawa sekantung tiket di tengah lapangan untuk dibagikan langsung dibidik oleh ribuan massa dari segala arah tribun. Pagar diloncati, rumput diinjak, dan fasilitas dirusak. Ribuan tiket diperebutkan dan mengudara di mana-mana.

Bom air seni di dalam botol dihempaskan ke kerumunan, polisi melakukan hom-pim-pa-alaihum-gambreng, dan pengalaman lainnya didapatkan oleh ketiga orang temanku ini. Rambut lusuh, muka kucel, badan asem, perut lapar, kaki kotor, dan sendal robek sungguh menggambarkan keadaaan kami pukul 3 sore.

Ketika Nurdin Halid berkata kalau tidak ada yang salah dengan sistem penjualan tiket, maka terkutuklah dirinya. Ketika Nurdin Halid menyalahkan supply dan demand dalam penjualan tiket, maka binasalah dirinya. Ketika sebuah sistem dipimpin oleh pemimpin yang busuk, maka sistem itu akan tetap busuk. Mau sepak bola Indonesia lebih maju? Ganti pemimpin PSSI dengan orang yang bersih, berwibawa, dan tahu peta sepak bola Indonesia.

Nurdin Turun!

Itulah sepenggal ceritaku. Aku yakin ketika kami menjadi alumni sipil lalu ada sebuah reuni 10, 20, atau 30 tahun mendatang, cerita ini akan tetap menyala di hati kami. Amarah, senyuman, jerih payah, dan kekecewaan ada dalam cerita ini.

Sebuah cerita yang layak untuk dikenang.

Rabu, Desember 22, 2010

Aden Barber Shop

Perkenalkan! Temen gue yang satu ini namanya Aden Firdaus. Namanya sungguh surgawi, ya? Ngeri kali fotonya. Doi berasal dari SMA Negeri 9 Yogyakarta. Selain berkegiatan di HMS macem nge-danlap kaderisasi (ngeri), BPA, dan sebagainya, doi juga mempunyai keahlian merapikan rambut orang lain.

Lihat saja!
Dalam tiga foto tersebut, Ghazi dengan ikhlas dan ridho rambutnya dirapikan oleh Bung Aden. Setelah Ghazi, sebenarnya giliran gue, cuman sayang sekali tidak ada yang mendokumentasikan. Haha.

Biasanya tukang cukur rambut tuh tidak mengerti kata-kata "potong sedikit aja ya". Akan tetapi Aden sungguh mengerti gue. Potong sedikit berarti sedikit aja. Gokil loh dia mempunyai keterampilan yang bisa bermanfaat untuk orang lain. Hasilnya memuaskan! Garansi!

Monggo dicoba.

All hail Aden!
Aden!

Sabtu, Desember 18, 2010

Parkir di ITB

Jumat, 17 Desember 2010 sekitar pukul 7 malam.

Aku, Andi, Ghazi, dan Rendy akan makan di Balubur. Dari sekre HMS, kami berjalan melewati salah satu lahan parkir di ITB. Karena berada dekat area sipil, lahan tersebut sering dinamakan parkir sipil. Melewati gerbang parkir, kami bertegur sapa hangat dengan Aa' parkir. Terlebih lagi Andi yang memang sudah sangat akrab dengan mereka.

Lalu Andi berkata: "Jam 8 malem udah bakal dipecat mereka. Kasihan ya, Boi".

Kami makan ayam bakar bumbu Padang di Talago Biru. Selepas dari sana, kami melewati gerbang sipil lagi. Waktu menunjukkan pukul 19.30. Terlihat beberapa Aa' parkir sedang duduk di selasar sedang berdiskusi. Kami menghampiri. Andi dengan santainya bercengkrama dengan mereka. Aku lihat wajah mereka. Senyum mereka lebar seperti biasanya tapi aku yakin di dalam hati sedang berkecamuk.

"Yaa kalo emang ini yang terbaik, mau gimana lagi, kami kan ngikut sama yang di atas. Saya minta maaf ya, Dek, seumpama pernah berbuat salah", ucap Aa'. Kalau tidak salah ada empat Aa' di sana, kami berjabat tangan. Kupegang erat tangan Aa' lalu kulihat wajahnya serta kuucapkan agar mereka tetap semangat.

Aku bergeming.

(Dulu) aku juga seorang pengendara sepeda motor. Setiap hari memarkir sepeda motor di parkir sipil. Setiap hari kulihat wajah-wajah ramah mereka. Namun takdir berkata lain, pembuat kebijakan di ITB menetapkan ISS Parking Management sebagai pengelola parkir.

Aku: Menurut lo gimana, Ren?
Rendy: Gue yakin bapak-bapak yang ada di atas sana sebenarnya juga berat mengambil keputusan ini. Ambil positifnya, ingin diciptakan sebuah sistem parkir yang teratur di ITB. Salah kita juga sih, Gan. Contohnya sih parkir vallet, itu sebenarnya gak boleh, terus kongkalikong dengan Aa' bawa kendaraan pribadi masuk kampus.

Kenyataannya adalah luas lahan parkir tetap tapi pertumbuhan mahasiswa yang membawa kendaraan bermotor cenderung naik. ITB itu dikelilingi oleh Jalan Ganeca, Tamansari, dan Dayang Sumbi. Orang tua mahasiswa ITB pada umumnya adalah masyarakat golongan menengah ke atas yang mampu memberikan sebuah mobil pribadi kepada anaknya. Hal ini tercermin dari besarnya uang pangkal yang bisa menembus ratusan juta rupiah.


Tak heran jika jalan di sekitar ITB malah dijadikan lahan parkir. Menurutku itu penyalahgunaan lahan jalan ditambah lagi mengurangi keindahan. Solusi dari Sarpras ITB adalah memaksimalkan penggunaan terowongan. Mahasiswa parkir di Saraga lalu ke kampus melewati terowongan tersebut. Cara preventifnya adalah dengan menggunakan angkutan kota atau sepeda. Wah, kalau berbicara mengenai angkutan kota, bahasan akan lebih panjang. Haha.


Sistem berganti tapi yang membuatku heran kenapa Aa' parkir juga harus diganti?
Yuk kita ambil sisi positif dari setiap kebijakan.

Aku tak akan lupa wajah-wajah kalian
Aku tak akan lupa gelak tawa kalian

-Teruntuk Aa' parkir

Sumber 1
Sumber 2

Rabu, Desember 08, 2010

(Sedikit) Tampilan Baru

Ada dua perubahan tampilan dalam blog ini. Latar dan judul blog.

Latar
Entah mengapa ada tampilan yang mengganggu pada latar sebelumnya. "Tinypic, this image bla bla bla". Kira-kira seperti itu tulisan si pengganggu mata. Tidak mau ambil pusing, aku mengambil simple template yang sudah disediakan oleh blogger. Gak ngerti JavaScript, HTML, dan teman-temannya, euy! Haha. Warna favoritku adalah merah tapi kupilih warna cokelat. Kenapa cokelat? Tidak tahu, suka saja, seperti menenangkan.

Judul
Tadinya judul blog ini adalah "The Red Squad". Sebenarnya itu insidental. Di awal kelahiran blog ini, aku memasang foto tim sepak bola SMA kelasku sebagai latar judul blog. Kebetulan warna baju bolanya adalah merah. Jadilah "The Red Squad". Sekarang blog ini bernama "Eirdnag Nahdamar", namaku sendiri jika dibaca dari sisi kanan. Random memang.

Tampilan tidak terlalu penting. Isi jauh lebih penting, kan? Hehe.
Pernah mendengar pepatah jangan menilai buku dari sampulnya, eh?

Tetap menulis, tumpahkan isi pikiran dalam sebuah media.