Sabtu, November 27, 2010

Perpisahan dan Kebersamaan


Saat itu akan kuliah tapi aku duduk santai dulu di depan sekre HMS sambil menyeruput susu putih hangat buatan Entang. HMS langganan Koran Kompas, lumayan lah, gratisan sekaligus menambah wawasan dan mengetahui apa yang sedang terjadi di luar sana. Bolak-balik halaman, mataku tertuju pada sebuah artikel karangan Sawitri Supardi Sadarjoen, psikolog.

Membentuk relasi yang bertahan lama merupakan hal yang sulit karena menuntut kapasitas untuk menjaga keseimbangan antara penghayatan personal sebagai 'aku' dan penghayatan perasaan kebersamaan pasangan sebagai 'kami'. Tarikan kedua arah 'keakuan-kekamian' tentu saja sangat kuat.

Intro-nya seperti di atas. Aku langsung tertarik dan terus membaca. Cakupan bahasan artikel ini adalah ikatan perkawinan. Sepertinya terlalu jauh untuk membicarakan pernikahan/perkawinan untuk seusiaku. Makanya, aku akan mencoba mengutarakannya sesuai dengan pikiran remaja-remaja labil dan galau zaman sekarang, setidaknya menurutku. Haha.

Pada satu sisi kita ingin menjadi individu yang merdeka, bebas, berdiri sendiri, dan mampu memperoleh kepuasan atas upaya diri sendiri, tetapi di sisi lain kita mencari keterikatan dan keintiman dengan orang lain, seperti halnya ikatan kekasih atau keluarga.

Errgh, benar?

Apa yang terjadi bila perasaan kekamian tidak mampu mencukupi kebersamaan relasi pasangan? Tentu saja masing-masing merasa sendiri dan tidak berbagi perasaan emosional. Lebih buruk lagi kedua pasangan berada dalam posisi yang benar-benar otonom dan terlontar kalimat "aku tidak butuh kamu".

Berikutnya, apa yang terjadi bila perasaan keakuan tidak mampu mencukupi kebersamaan relasi pasangan? Ya, keduanya akan mengorbankan identitas dan tanggung jawab terhadap diri sendiri akan sirna. Keduanya berupaya sekuat tenaga untuk mengubah perilaku pasangannya. Keduanya merasa bertanggung jawab dengan kenyamanan pasangannya daripada kenyamanan diri sendiri.

Pertengkaran terjadi karena mencari kesalahan pasangan. Jika terjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan kita, maka terucaplah "rasanya saya sudah mengupayakan segala macam cara dalam bersikap namun dia tidak pernah menghargai saya dan tidak mau mengubah sikapnya".

Kondisi lain adalah hubungan yang terkesan harmonis. Bisa berupa salah satu pasangan selalu menerima dominasi pasangannya atau seolah-olah keduanya sudah saling berbagi masalah dalam hubungan mereka.

'Aku' dan 'Kami'.

Intinya, setiap pasangan membutuhkan keduanya, 'aku' dan 'kami', dalam porsi yang seimbang sehingga memberikan makna dalam menyikapi sisi personal tiap pasangan.

Bagaimana cara agar keduanya berimbang? Misal saat kita marah dan kesal tahap kronis kepada pasangan, itu menunjukkan kita sedang meningkatkan penguatan penghayatan 'aku'. Oleh karena itu, evaluasi diri itu penting untuk mendapatkan apa yang sebenarnya kita pikirkan, rasakan, dan inginkan serta perubahan dalam cara berinteraksi kepada pasangan. Semakin kita lebih menghayati posisi 'aku' dalam kebersamaan pasangan, semakin nyamanlah penghayatan keintiman dan kesendirian dalam sebuah relasi.

Nah, sudah sejauh mana kita sudah menyeimbangkan keakuan dan kekamian?

Sigh, jangan tanya padaku. Aku sendiri masih bobrok untuk hal seperti ini.
Semoga artikel di atas dapat menambah wawasan kita.

-Kompas

3 komentar:

oranganehmenulis mengatakan...

hmmmm...susah dibilang gan
nice story, deep feel, and sharp question...blog yang humanis...hahaha

like this posting..heh

two thumbs up..

Alif Ramdhani Suyanto mengatakan...

jangan curhat lah gan..
hahaha

Gandrie Ramadhan mengatakan...

@Andi: Super banget tuh psikolog, Coy!

@Alif: Aduh ketahuan. Haha.