Selasa, Januari 24, 2012

Bumi Medika Ganesha

Gendang telinga saya bolong.

Sewaktu kecil, telinga saya, tepatnya telinga kiri, sering bermasalah dengan mengeluarkan lendir dan kadang terasa sakit. Rasa sakit yang luar biasa sangat dirasakan saat pesawat take-off dan landing. Masalah itu nampak sirna seiring saya beranjak dewasa dengan catatan tidak naik pesawat. Kini masalah itu muncul kembali ke permukaan tepat sehari sebelum semester 8 dimulai, semester dimana saya mulai mengerjakan tugas akhir.

Ceritanya seketika saya membuang lendir dari hidung, telinga kiri saya bindeng dan sempat mengeluarkan cairan. Hal ini bertambah parah apabila saya naik mobil tertutup. Secara otomatis kualitas indra pendengaran saya berkurang. Pergilah saya ke sebuah klinik. Bumi Medika Ganesha namanya.

"Ada dokter THT?" tanya saya.
"Oh, nggak ada. Di sini adanya dokter umum dan dokter gigi." jawab pegawai.
"Ya sudah deh nggak apa-apa. Sama dokter umum saja." tukas saya.

Sehabis proses administrasi, seorang pria memanggil saya untuk masuk ke dalam ruangan. Telinga kiri saya diperiksa dengan sebuah alat khusus lalu dokter meyakinkan kalau gendang telinga saya pecah, bolongnya besar bahkan. Saya tidak kaget. Apabila tidak ingin bermasalah lagi, dokter menyarankan untuk operasi 'menambal' gendang telinga dengan membran khusus di dokter THT. Dokter memberikan antibiotik dan dua jenis obat lagi untuk meredakan sakit.

Dokter menyarankan jangan berenang dulu. Kuliah saya di semester 8 ini sangat lowong sehingga rencananya saya ingin jogging di Saraga, berenang di Saraga, dan bersepeda masing-masing sehari di waktu pagi di setiap minggunya. Sigh, ada sedikit kendala di berenang, sialnya. Melihat raut muka saya yang kecewa, dokter memberikan opsi boleh berenang asal pakai earplug, sebuah alat penyumpal telinga yang terbuat dari gabus atau karet yang berguna mencegah air masuk saat berenang.

Setelah semuanya beres, basa-basi saya melontarkan pertanyaan kepada dokter yang menangani saya. Seorang perempuan yang perawakannya sudah lanjut usia nan bijak.

"Udah lama di sini, Dok?"

"Yah, saya sudah puluhan tahun di sini (28 tahun kalau nggak salah). Dokter yang lain bahkan ada yang sampai 40 tahun, Mas. Semua dokter di sini adalah istri dari pengajar di ITB." tancap dia dengan logat Jawa yang cukup kental.

"Woah, betah banget di sini, ya?"

"Takdir sepertinya yang membawa saya ke sini, Mas. Di sini lebih ditekankan pengabdian. Kalau buka praktek sendiri sih bisa saja dan jelas penghasilan lebih banyak tapi saya senang di sini. Makanya sampai sekarang susah banget loh nyari dokter spesialis. Makanya ndak ada dokter THT di sini. Ini alhamdulillah kita sudah ketemu dokter mata buat BMG, Mas."

"Wah, hebat banget, Dok. Salut saya."

"Namanya juga hidup, Mas. Yang penting ikhlas ngejalanin. Rejeki ndak ke mana toh."

"Iya benar, Dok. Saya tebus obatnya, ya. Nuhun pisan, Dok."

Saya berpikir dan melihat struk. Biaya konsultasi dokter BMG sebesar 30 ribu tapi karena saya mahasiswa ITB ada subsidi sebesar 20 ribu sehingga saya hanya membayar 10 ribu. Seharusnya saya membayar biaya obat sebesar Rp 74.500,00 tapi digratiskan pula. Sebelum meninggalkan ruangan, saya sempat melihat sang dokter membubuhkan stempel nama berwarna merah di atas resep yang dia tulis.

Dokter Yuliati.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

beliau yang meriksa saya waktu awal masuk itb dulu, gan. dan ternyata setelah masuk ludruk, baru tau kalau beliau istri pembina ludruk. dunia sempit :D

Gandrie Ramadhan mengatakan...

Wah! Sempit banget dunia, Kak Nana!
Dulu meriksa Kak Nana, sekarang meriksa saya. Haha.