Minggu, Januari 08, 2017

Tulisan Berbalas Tulisan

Pilkada Jakarta. Linimasa media sosial semakin riuh. Namun, ada satu hal yang membuat hati sedikit lega di balik pekaknya suasana: tulisan berbalas tulisan. Seorang netizen mengungkapkan kekecewaannya terhadap salah satu cagub lewat tulisannya (2-1-2017), kemudian direspons oleh netizen lain lewat tulisan (3-1-2017) pula. Tidak berhenti sampai di situ, netizen pertama meluncurkan tulisan keduanya (5-1-2017).

Saya tidak akan membahas isi tulisan-tulisan tersebut. Yang jelas, ini adalah sebuah kebiasaan literasi yang baik yang semoga terus tumbuh di Indonesia.

Kejadian ini mengingatkan saya dengan iklim serupa yang sudah masif terbangun di luar Indonesia. Ada sebuah mata kuliah wajib bernama understanding travel behaviour. Saya ingat betul kuliah itu dimulai dengan satu pertanyaan: why people travel? Tugas kuliah (coursework) pertama berupa esai 1.500 kata tentang travel as derived demand yang bobotnya 25% dari nilai total modul.

Sistem pendidikan di sana memaksa mahasiswa untuk membaca jurnal dan mengutip kembali data ilmiah yang disampaikan oleh penulis jurnal dengan kalimat sendiri (paraphrase). Lagipula, salin-tempel sangat tidak disarankan mengingat ada Turnitin yang mampu mengecek tingkat keaslian kata-kata yang dibuat.

Penjelasan umum travel as derived demand adalah orang bepergian hanya untuk memenuhi kebutuhan mereka di tempat lain. Button (2010) menguatkan argumen ini lewat teori ekonomi bahwa konsumen bertindak berdasarkan keputusan rasional. Dalam hal ini, memaksimalkan kesejahteraan dapat diperoleh dengan meminimalkan waktu tempuh. Penjelasan Button tadi didukung oleh Fowkes (2010) dan Mackie (2001) yang menjelaskan bahwa waktu adalah komponen terbatas dan perlu dikuantifikasi dalam analisis skema pembiayaan infrastruktur transportasi lewat VTTS (value of travel time saving).

Mokhtarian (2001) punya kritik terhadap penjelasan di atas dan mengatakan "travel is not purely derived from demand". Dari survei yang ia lakukan untuk 1.900 sampel, lebih dari 75% sampel menyatakan mereka bepergian hanya untuk kesenangan dan dua pertiga sampel tidak setuju kalau mencapai tujuan adalah hal yang paling penting. Metz (2007) melihat ada ketidaksempurnaan metode penaksiran investasi transportasi (transport investment appraisal) ketika VTTS masuk di dalamnya.

Saya takjub sendiri mereka bisa berdebat secara sehat dalam ruang dan waktu yang berbeda. Kondisi beda pendapat namun tetap kepala dingin ini semoga juga bisa menjalar di Indonesia.

Tidak ada komentar: