Sabtu, Agustus 04, 2012

The Leeds

Geser sedikit ke bawah, bagian kanan, coba tengok 'Next Projects'.

Semua bermula dari kalimat "Kamu jangan berhenti di S1". Dulu. Dulu sekali. Mungkin ketika saya masih SMP. Entahlah, pondasi kalimat itu berhasil menancap dengan kukuh di dalam benak saya. Segala kepanikan mulai muncul di awal semester enamsemester terakhir sebelum berpredikat 'swasta' (mahasiswa tingkat akhir) di ITB. Ditetapkanlah secara mandiri bahwa melanjutkan studi master adalah rencana inisial.

Saya tidak mau S2 di Indonesia. Pertimbangan saya adalah kualitas pendidikan (bukan berarti S2 di Indonesia tidak berkualitas) dan kaum minoritas. Saya ingin berguru kepada orang yang murni dan fokus berada di bidang tertentu tanpa intervensi dari pihak manapun. Kesejahteraan dosen di luar negeri sangat diperhatikan sehingga mereka bisa mengabdikan diri secara menyeluruh untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, saya beragama Islam dan berkebangsaan Indonesia yang tinggal di negara Indonesia yang sebagian besar penduduknya beragama Islam. Saya yakin dengan menjadi kaum minoritas akan mengasah kemandirian, toleransi, dan kepekaan sosial.  

Fokus adalah saya lakukan. Sangat fokus. Tak heran bisa berjam-jam di depan laptop menelusuri berbagai macam informasi yang dibutuhkan. Tak hanya itu, bahkan sebuah buku mengenai kisah Erasmus Mundus saya pesan lewat surat elektronik. Beberapa hari kemudian tiba, langsung saya libas buku itu. Ternyata, secara garis besar, dokumen yang dibutuhkan untuk melamar studi master sama-sama saja: transkrip akademik, tulisan motivasi, surat rekomendasi, dan sertifikat bahasa. Hanya beda format dan sebagian besar universitas sudah menerapkan aplikasi on-line yang bisa disimpan secara berkala.

Sudah jelas apa saja yang dibutuhkan, itu yang saya cari. Yang penuh tantangan adalah tulisan motivasi. Tulisan ini berisi penjelasan jati diri, alasan memilih program tersebut, hingga ekspektasi yang diharapkan setelah lulus. Oh, jelas ini bukan perkara gampang, apalagi mengenal jati diri. Belum lagi kata-kata yang diuntai seindah mungkin dengan tetap berpegang teguh pada tata bahasa yang baku. Saya bahkan meminta dua orang teman untuk memeriksa hasil yang sudah saya buat.

Sertifikat bahasa. Proses yang satu ini memakan waktu dan biaya. Saya mengambil kelas reguler (ada kelas ekspres) IELTS di TBI selama tiga bulan. Jadilah dalam tiga hari di setiap minggunya, sehabis kuliah, saya mempelajari medan tes internasional yang akan saya hadapi. Tak murah, sertifikat yang diakui secara internasional itu seharga $195, hampir dua juta rupiah. Sangat disayangkan apabila hasilnya kurang dari target atau batas minimum yang universitas sudah tetapkan. Mengenai surat rekomendasi, saya yakin para dosen selalu mendukung penuh mahasiswa yang punya impian untuk melanjutkan studinya. Akan tetapi, yang perlu diwaspadai adalah kesibukan para dosen yang terkadang sulit diprediksi.

Singkat cerita, alhamdulillah saya diterima di suatu universitas di Inggris. Saya hanya bercerita kepada orang-orang tertentu saja. Sialnya kicauan di dunia maya berefek bola salju. Sepertinya, bukan bermaksud gede rasa, hampir seluruh ITB tahu. Saya anggap semua itu sebagai doa. Belum beres, ada satu tantangan lagi: finansial. Saya sudah bertekad tidak akan meminta ke orangtua untuk biaya kuliah S2. Beasiswa adalah satu-satunya jalan keluar. Setelah digantungkan beberapa bulan, keluarlah pengumuman beasiswa yang menyatakan bahwa saya belum lolos. Untungnya, keberangkatan saya bisa ditunda untuk tahun 2013. Pun belum jadi lagi karena kendala finansial, saya sudah tercatat sebagai calon mahasiswa di sana sehingga aplikasi yang saya layangkan untuk tahun 2014 dan seterusnya hanya bersifat formalitas saja. Sungguh mujur.

Sempat tertunduk lesu tapi saya tak mau larut. Senangnya saya sudah melakukan totalitas dalam perjuangan sehingga tidak ada penyesalan sedikitpun. Skenario Tuhan berkata demikian. Skenario Tuhan adalah skrip terbaik tanpa cacat.

Hingga tulisan ini diturunkan, ada dua yang belum dicoret dalam 'Next Projects'.
'Belum akan saya coret', bukan 'tidak akan saya coret'.

Dunia ini terlalu luas untuk dijelajahi oleh kaum pesimis.

Tidak ada komentar: