"To endeavor means trying to do something even when you know you might be beaten before you even start."
Quoted from How to Train Your Dragon Book 9: How to Steal a Dragon's Sword. Just for your information, Hiccup named his sword Endeavor.
Ini ada sebuah musik karya anak bangsa yang asik dan semoga memberikan suntikan semangat kepada para pembaca. E.F.A (Everyone For Ambon) Project - Harapan. Setelah endeavor secara maksimal, yakinlah selalu ada harapan, Sob.
Saat putus asa lemah tak berdaya, ingat penciptamu!
Apapun itu, jangan menyerah!
Sambung asamu!
Senin, September 17, 2012
Minggu, Agustus 26, 2012
Satria Jawa
Tuntas sudah saya membaca Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Sebuah karya sastra yang bisa-bisanya diciptakan saat sang maestro berada di dalam bui – diasingkan – di Pulau Buru, Kepulauan Maluku. Semakin ditekan, sepertinya, beliau semakin menggelora menulis. Ya, Pram melawan zaman lewat torehan penanya. Buah pemikirannya yang menggabungkan nilai luhur jati diri bangsa dengan pentingnya ilmu logika adalah sangat visioner dan sungguh memukau.
Dalam tulisan ini, saya ingin mengutip kalimat-kalimat beliau dan membaginya kepada para pembaca mengenai Satria Jawa. Ada lima persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi Satria Jawa: wisma, wanita, turangga, kukila, dan curiga.
1. Wisma
Tanpa rumah, orang tak mungkin satria. Orang hanya gelandangan. Rumah adalah tempat seorang satria bertolak, tempat dia kembali. Rumah bukan sekedar alamat, dia tempat kepercayaan sesama pada yang meninggali.
2. Wanita
Tanpa wanita, satria menyalahi kodrat sebagai lelaki. Wanita adalah lambang kehidupan dan penghidupan, kesuburan, kemakmuran, kesejahteraan. Dia bukan sekedar istri untuk suami. Wanita sumbu pada semua, penghidupan dan kehidupan berputar dan berasal. Seperti kau pandang ibumu yang sudah tua, dan berdasarkan itu pula anak-anakmu yang perempuan nanti harus kau persiapkan.
3. Turangga
Kuda, dia alat yang dapat membawa kau ke mana-mana: ilmu, pengetahuan, kemampuan, keterampilan, kebisaan, keahlian, dan akhirnya – kemajuan. Tanpa turangga, takkan jauh langkahmu, pendek penglihatanmu.
4. Kukila
Burung, lambang keindahan, kelangenan (hobi), segala yang tak punya hubungan dengan penghidupan, hanya dengan kepuasan batin pribadi. Tanpa itu, orang hanya sebongkah batu tanpa semangat.
5. Curiga
Keris, lambang kewaspadaan, kesiagaan, keperwiraan, alat untuk mempertahankan yang empat sebelumnya. Tanpa keris, yang empat akan bubar binasa bila mendapat gangguan.
Bumi Manusia, halaman 464-465
Dalam tulisan ini, saya ingin mengutip kalimat-kalimat beliau dan membaginya kepada para pembaca mengenai Satria Jawa. Ada lima persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi Satria Jawa: wisma, wanita, turangga, kukila, dan curiga.
1. Wisma
Tanpa rumah, orang tak mungkin satria. Orang hanya gelandangan. Rumah adalah tempat seorang satria bertolak, tempat dia kembali. Rumah bukan sekedar alamat, dia tempat kepercayaan sesama pada yang meninggali.
2. Wanita
Tanpa wanita, satria menyalahi kodrat sebagai lelaki. Wanita adalah lambang kehidupan dan penghidupan, kesuburan, kemakmuran, kesejahteraan. Dia bukan sekedar istri untuk suami. Wanita sumbu pada semua, penghidupan dan kehidupan berputar dan berasal. Seperti kau pandang ibumu yang sudah tua, dan berdasarkan itu pula anak-anakmu yang perempuan nanti harus kau persiapkan.
3. Turangga
Kuda, dia alat yang dapat membawa kau ke mana-mana: ilmu, pengetahuan, kemampuan, keterampilan, kebisaan, keahlian, dan akhirnya – kemajuan. Tanpa turangga, takkan jauh langkahmu, pendek penglihatanmu.
4. Kukila
Burung, lambang keindahan, kelangenan (hobi), segala yang tak punya hubungan dengan penghidupan, hanya dengan kepuasan batin pribadi. Tanpa itu, orang hanya sebongkah batu tanpa semangat.
5. Curiga
Keris, lambang kewaspadaan, kesiagaan, keperwiraan, alat untuk mempertahankan yang empat sebelumnya. Tanpa keris, yang empat akan bubar binasa bila mendapat gangguan.
Bumi Manusia, halaman 464-465
Jumat, Agustus 17, 2012
Sustainable Transportation
When talking about sustainability, it means what we are currently doing and developing in the present must not sacrifice the next generation of human being in the future. Transport is crucial to development. Basically, people move to fulfill their needs. In order to move, access is needed. Without access to places where people can meet their needs, the quality of life degenerates. Inappropriately designed transport strategies and programs can result in the poor environment condition, lack of economy profit, and exceed the capacity of public finances.
In order to be effective, transport policy must satisfy three main requirements. First, it must ensure that a continuing capability exists to support an improved material standard of living. This corresponds to the concept of economic and financial sustainability. Second, it must generate the greatest possible movement improvement in the general quality of life, not merely in increase in traded goods. This relates to the concept of environmental and ecological sustainability. Third, the benefits that transport produces must be shared equitably by all sections of the community. This we term social sustainability.
The rapid growth cities in developing countries has seriously compromised existing transportation systems and significantly increased the challenge of creating future transportation system. It is indeed in developing countries that the greatest growth in private motorized vehicles has been seen in the past few years and is expected in the future, primarily in urban areas. In order to reach sustainable transportation, developing countries must create a rapid, affordable, low-cost construction, and environmental-friendly transportation system in the downtown which is integrated with the suburbs. We need to dare to create transport system which giving priority to the needs of the poor majority rather than the automobile owning minority.
Show your guts. Yes, we have to dare.
In order to be effective, transport policy must satisfy three main requirements. First, it must ensure that a continuing capability exists to support an improved material standard of living. This corresponds to the concept of economic and financial sustainability. Second, it must generate the greatest possible movement improvement in the general quality of life, not merely in increase in traded goods. This relates to the concept of environmental and ecological sustainability. Third, the benefits that transport produces must be shared equitably by all sections of the community. This we term social sustainability.
The rapid growth cities in developing countries has seriously compromised existing transportation systems and significantly increased the challenge of creating future transportation system. It is indeed in developing countries that the greatest growth in private motorized vehicles has been seen in the past few years and is expected in the future, primarily in urban areas. In order to reach sustainable transportation, developing countries must create a rapid, affordable, low-cost construction, and environmental-friendly transportation system in the downtown which is integrated with the suburbs. We need to dare to create transport system which giving priority to the needs of the poor majority rather than the automobile owning minority.
Show your guts. Yes, we have to dare.
Label:
Coretan,
Harapan,
Sipil,
Transportasi
Sabtu, Agustus 04, 2012
Dongeng
Dongeng menurut KBBI memiliki arti cerita yang tidak benar-benar terjadi (terutama tentang kejadian zaman dulu yang aneh-aneh). Lebih dari itu, dongeng adalah tonggak budaya lisan. Sayangnya, era teknologi audiovisual telah berhasil menepikan dongeng, menguburnya hingga menjadi fosil budaya.
Dongeng adalah sastra sehari-hari lingkup sosial paling kecil, yakni keluarga. Pertumbuhan emosional, spiritual, dan intelektual anak-anak dapat diasah lewat metode dongeng. Dongeng bukan sekedar hiburan yang menghasilkan gelak tawa, pahitnya duka, atau perasaan berdebar-debar. Semua itu adalah asupan jiwa. Akan tetapi, dongeng bernilai lebih dari itu. Tiliklah, dongeng membatinkan nilai kehidupan seperti keadilan, toleransi, solidaritas, kejujuran, dan kebangasaan ke dalam kesadaran dan perilaku manusia.
Sangat penting ketika objek dongeng adalah anak-anak. Ibarat struktur, pondasi itu tidak terlihat namun memegang peranan yang penting dalam menopang tubuh bangunan agar tahan menahan beban sendiri, beban hidup, beban angin, bahkan beban gempa. Ketika pondasi kebajikan sudah tertanam dengan baik pada fase kehidupan dini, negara ini tidak perlu khawatir dengan kelangsungan masa depannya. Stok manusia yang dijamin nilai kehidupannya ada banyak dan mereka akan mengisi posisi strategis pemerintahan; mengemudikan Indonesia ke arah yang sejahtera seutuhnya.
Imajinasi
Daya tarik dongeng terletak pada imajinasi. Dongeng memberikan imajinasi yang merupakan asupan sensasi akal dan rasa. Anak-anak yang sedang didongengi, secara otomatis, akan mendirikan sebuah teater maya di dalam kepalanya. Di dalam teater ini, para tokoh berinteraksi sesuai dengan alur cerita. Latar teater ini berubah seiring dengan berjalannya kisah. Teater ini adalah teater imajinasi yang tidak peduli dengan realitas karena imajinasi itu sendiri adalah mengadakan apa yang tidak ada dengan melampaui batas realitas.
Jangan berpaling, faktanya, dongeng adalah pengawetan, pewarisan, dan pengaktualisasi nilai-nilai budaya lokal (local wisdom). Faktanya pula, sekarang negeri dongeng tidak sesubur dulu. Tanah tempat dongeng bertumpu sudah kering dan tandus. Budaya dongeng kalah pamor dengan budaya audiovisual. Anak-anak lebih senang berinteraksi dengan iPad, playstation, xbox, nintendo, televisi, dan internet. Semua teknologi itu lebih memukau di mata anak-anak. Entahlah, sangat disayangkan ketika orang tua tak sempat mendongeng atau (lebih parahnya) tidak memiliki referensi dongeng yang berujung kepada ketidakpedulian.
Dongeng adalah pembebasan! Di lubuk hati yang terdalam, mari berharap agar anak-anak Indonesia tidak menjadi mesin yang kaku dan berperilaku konsumtif.
Yuk, mendongeng untuk anak kita nanti!
Teroka
Dongeng, agar Anak Tak Jadi Mesin
Indra Tranggono
Pemerhati Kebudayaan
The Leeds
Geser sedikit ke bawah, bagian kanan, coba tengok 'Next Projects'.
Semua bermula dari kalimat "Kamu jangan berhenti di S1". Dulu. Dulu sekali. Mungkin ketika saya masih SMP. Entahlah, pondasi kalimat itu berhasil menancap dengan kukuh di dalam benak saya. Segala kepanikan mulai muncul di awal semester enam – semester terakhir sebelum berpredikat 'swasta' (mahasiswa tingkat akhir) di ITB. Ditetapkanlah secara mandiri bahwa melanjutkan studi master adalah rencana inisial.
Saya tidak mau S2 di Indonesia. Pertimbangan saya adalah kualitas pendidikan (bukan berarti S2 di Indonesia tidak berkualitas) dan kaum minoritas. Saya ingin berguru kepada orang yang murni dan fokus berada di bidang tertentu tanpa intervensi dari pihak manapun. Kesejahteraan dosen di luar negeri sangat diperhatikan sehingga mereka bisa mengabdikan diri secara menyeluruh untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, saya beragama Islam dan berkebangsaan Indonesia yang tinggal di negara Indonesia yang sebagian besar penduduknya beragama Islam. Saya yakin dengan menjadi kaum minoritas akan mengasah kemandirian, toleransi, dan kepekaan sosial.
Fokus adalah saya lakukan. Sangat fokus. Tak heran bisa berjam-jam di depan laptop menelusuri berbagai macam informasi yang dibutuhkan. Tak hanya itu, bahkan sebuah buku mengenai kisah Erasmus Mundus saya pesan lewat surat elektronik. Beberapa hari kemudian tiba, langsung saya libas buku itu. Ternyata, secara garis besar, dokumen yang dibutuhkan untuk melamar studi master sama-sama saja: transkrip akademik, tulisan motivasi, surat rekomendasi, dan sertifikat bahasa. Hanya beda format dan sebagian besar universitas sudah menerapkan aplikasi on-line yang bisa disimpan secara berkala.
Sudah jelas apa saja yang dibutuhkan, itu yang saya cari. Yang penuh tantangan adalah tulisan motivasi. Tulisan ini berisi penjelasan jati diri, alasan memilih program tersebut, hingga ekspektasi yang diharapkan setelah lulus. Oh, jelas ini bukan perkara gampang, apalagi mengenal jati diri. Belum lagi kata-kata yang diuntai seindah mungkin dengan tetap berpegang teguh pada tata bahasa yang baku. Saya bahkan meminta dua orang teman untuk memeriksa hasil yang sudah saya buat.
Sertifikat bahasa. Proses yang satu ini memakan waktu dan biaya. Saya mengambil kelas reguler (ada kelas ekspres) IELTS di TBI selama tiga bulan. Jadilah dalam tiga hari di setiap minggunya, sehabis kuliah, saya mempelajari medan tes internasional yang akan saya hadapi. Tak murah, sertifikat yang diakui secara internasional itu seharga $195, hampir dua juta rupiah. Sangat disayangkan apabila hasilnya kurang dari target atau batas minimum yang universitas sudah tetapkan. Mengenai surat rekomendasi, saya yakin para dosen selalu mendukung penuh mahasiswa yang punya impian untuk melanjutkan studinya. Akan tetapi, yang perlu diwaspadai adalah kesibukan para dosen yang terkadang sulit diprediksi.
Singkat cerita, alhamdulillah saya diterima di suatu universitas di Inggris. Saya hanya bercerita kepada orang-orang tertentu saja. Sialnya kicauan di dunia maya berefek bola salju. Sepertinya, bukan bermaksud gede rasa, hampir seluruh ITB tahu. Saya anggap semua itu sebagai doa. Belum beres, ada satu tantangan lagi: finansial. Saya sudah bertekad tidak akan meminta ke orangtua untuk biaya kuliah S2. Beasiswa adalah satu-satunya jalan keluar. Setelah digantungkan beberapa bulan, keluarlah pengumuman beasiswa yang menyatakan bahwa saya belum lolos. Untungnya, keberangkatan saya bisa ditunda untuk tahun 2013. Pun belum jadi lagi karena kendala finansial, saya sudah tercatat sebagai calon mahasiswa di sana sehingga aplikasi yang saya layangkan untuk tahun 2014 dan seterusnya hanya bersifat formalitas saja. Sungguh mujur.
Sempat tertunduk lesu tapi saya tak mau larut. Senangnya saya sudah melakukan totalitas dalam perjuangan sehingga tidak ada penyesalan sedikitpun. Skenario Tuhan berkata demikian. Skenario Tuhan adalah skrip terbaik tanpa cacat.
Hingga tulisan ini diturunkan, ada dua yang belum dicoret dalam 'Next Projects'.
'Belum akan saya coret', bukan 'tidak akan saya coret'.
Dunia ini terlalu luas untuk dijelajahi oleh kaum pesimis.
Semua bermula dari kalimat "Kamu jangan berhenti di S1". Dulu. Dulu sekali. Mungkin ketika saya masih SMP. Entahlah, pondasi kalimat itu berhasil menancap dengan kukuh di dalam benak saya. Segala kepanikan mulai muncul di awal semester enam – semester terakhir sebelum berpredikat 'swasta' (mahasiswa tingkat akhir) di ITB. Ditetapkanlah secara mandiri bahwa melanjutkan studi master adalah rencana inisial.
Saya tidak mau S2 di Indonesia. Pertimbangan saya adalah kualitas pendidikan (bukan berarti S2 di Indonesia tidak berkualitas) dan kaum minoritas. Saya ingin berguru kepada orang yang murni dan fokus berada di bidang tertentu tanpa intervensi dari pihak manapun. Kesejahteraan dosen di luar negeri sangat diperhatikan sehingga mereka bisa mengabdikan diri secara menyeluruh untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, saya beragama Islam dan berkebangsaan Indonesia yang tinggal di negara Indonesia yang sebagian besar penduduknya beragama Islam. Saya yakin dengan menjadi kaum minoritas akan mengasah kemandirian, toleransi, dan kepekaan sosial.
Fokus adalah saya lakukan. Sangat fokus. Tak heran bisa berjam-jam di depan laptop menelusuri berbagai macam informasi yang dibutuhkan. Tak hanya itu, bahkan sebuah buku mengenai kisah Erasmus Mundus saya pesan lewat surat elektronik. Beberapa hari kemudian tiba, langsung saya libas buku itu. Ternyata, secara garis besar, dokumen yang dibutuhkan untuk melamar studi master sama-sama saja: transkrip akademik, tulisan motivasi, surat rekomendasi, dan sertifikat bahasa. Hanya beda format dan sebagian besar universitas sudah menerapkan aplikasi on-line yang bisa disimpan secara berkala.
Sudah jelas apa saja yang dibutuhkan, itu yang saya cari. Yang penuh tantangan adalah tulisan motivasi. Tulisan ini berisi penjelasan jati diri, alasan memilih program tersebut, hingga ekspektasi yang diharapkan setelah lulus. Oh, jelas ini bukan perkara gampang, apalagi mengenal jati diri. Belum lagi kata-kata yang diuntai seindah mungkin dengan tetap berpegang teguh pada tata bahasa yang baku. Saya bahkan meminta dua orang teman untuk memeriksa hasil yang sudah saya buat.
Sertifikat bahasa. Proses yang satu ini memakan waktu dan biaya. Saya mengambil kelas reguler (ada kelas ekspres) IELTS di TBI selama tiga bulan. Jadilah dalam tiga hari di setiap minggunya, sehabis kuliah, saya mempelajari medan tes internasional yang akan saya hadapi. Tak murah, sertifikat yang diakui secara internasional itu seharga $195, hampir dua juta rupiah. Sangat disayangkan apabila hasilnya kurang dari target atau batas minimum yang universitas sudah tetapkan. Mengenai surat rekomendasi, saya yakin para dosen selalu mendukung penuh mahasiswa yang punya impian untuk melanjutkan studinya. Akan tetapi, yang perlu diwaspadai adalah kesibukan para dosen yang terkadang sulit diprediksi.
Singkat cerita, alhamdulillah saya diterima di suatu universitas di Inggris. Saya hanya bercerita kepada orang-orang tertentu saja. Sialnya kicauan di dunia maya berefek bola salju. Sepertinya, bukan bermaksud gede rasa, hampir seluruh ITB tahu. Saya anggap semua itu sebagai doa. Belum beres, ada satu tantangan lagi: finansial. Saya sudah bertekad tidak akan meminta ke orangtua untuk biaya kuliah S2. Beasiswa adalah satu-satunya jalan keluar. Setelah digantungkan beberapa bulan, keluarlah pengumuman beasiswa yang menyatakan bahwa saya belum lolos. Untungnya, keberangkatan saya bisa ditunda untuk tahun 2013. Pun belum jadi lagi karena kendala finansial, saya sudah tercatat sebagai calon mahasiswa di sana sehingga aplikasi yang saya layangkan untuk tahun 2014 dan seterusnya hanya bersifat formalitas saja. Sungguh mujur.
Sempat tertunduk lesu tapi saya tak mau larut. Senangnya saya sudah melakukan totalitas dalam perjuangan sehingga tidak ada penyesalan sedikitpun. Skenario Tuhan berkata demikian. Skenario Tuhan adalah skrip terbaik tanpa cacat.
Hingga tulisan ini diturunkan, ada dua yang belum dicoret dalam 'Next Projects'.
'Belum akan saya coret', bukan 'tidak akan saya coret'.
Dunia ini terlalu luas untuk dijelajahi oleh kaum pesimis.
Rabu, Juli 18, 2012
Naik ke Puncak Gunung
Naik, naik, ke puncak gunung.
Tinggi, tinggi sekali.
Kiri, kanan, kulihat saja, banyak pohon cemara.
Agaknya lagu di atas sudah dilupakan oleh anak-anak zaman sekarang. Coba tengok lagu Coboy Junior yang berjudul 'Kamu'. Akh. Belum saatnya anak-anak itu merasakan asmara. Ke mana 'Potong Bebek Angsa', 'Balonku', 'Topi Saya Bundar', dan sejenisnya? Pokoknya anak saya nanti akan saya jaga tontonannya. Loh? Kha-Kha-Kha.
Paragraf di atas hanya intro. Dalam tulisan ini saya ingin menceritakan pengalaman saya naik gunung. Sebenarnya baru dua kali sih saya naik gunung: Manglayang dan Papandayan. Tak apa lah, secuil cerita dari newbie semoga bisa memberikan inspirasi bagi para pembaca.
Tujuannya apa sih naik gunung? Saya yakin setiap orang punya persepsinya sendiri dan tidak sepatutnya ada yang menghakimi pendapat orang tersebut. Toh tidak ada yang salah selama niatnya baik. Kalau saya ada tiga. Pertama, saya gemar menjelajah kawasan yang baru. Sesuatu yang baru biasanya menyegarkan jiwa. Dan ingat, Tuhan menyuruh umat-Nya menjelajah loh! Buka QS. al-Mulk ayat 15. Kedua, Tuhan adalah pelukis terbaik. Saya yakin Tuhan tak sudi memberikan lukisan-Nya secara cuma-cuma. Kasarnya, ada harga, ada kualitas. Ketiga, saya mengincar kebersamaan dengan teman-teman saya. Semakin ekstrem kondisi, sifat asli orang tersebut akan keluar. Di sini letak kebersamaan dan kekompakan diuji. Ketika ego pribadi berhasil dikesampingkan, maka orang tersebut berhasil mengontrol hawa nafsunya dan menaklukkan sisi jahat dirinya.
Seusai Perang Badar, seorang sahabat bertanya. "Ya Rasulullah, adakah perang yang lebih besar daripada Perang Badar ini?" Rasul menjawab, "Ada. Perang itu adalah perang melawan hawa nafsumu sendiri." Saya percaya dengan hal itu.
Tinggalkan hiruk-pikuk kota urban, mari bersatu dengan alam. Ternyata medan penjelajahan tidaklah mudah. Jalan yang terkadang curam dan penuh kerikil senantiasa harus dilewati. Akan tetapi di situ asiknya penjelajahan! Sebuah peribahasa mengatakan bahwa apa yang ditanam, itu yang didapat. Penjelajahan berat itu biasanya berbuah manis di akhir pendakian. Tuhan menyuguhi para pencapai puncak dengan keindahan goresan pena-Nya. Hasil jepret yang ditangkap oleh kamera memang mengagumkan, tetapi percayalah kedua bola mata ini adalah lensa terbaik dengan otak sebagai prosesor terbaik pula yang menghasilkan imaji indah yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata atau foto di dunia maya. Percayalah.
Di pendakian saya yang terakhir, saya mendaki bersama sembilan orang teman saya. Melewati seluruh rangkaian jalur secara bersama-sama membuat kami percaya kalau kebersamaan itu ada. Mengutip kata-kata teman saya bahwa kebahagiaan itu tidak harus mahal, cukup kebersamaan di tengah kesederhanaan. Mulai dari hal kecil, bayangkan saja, botol air mineral yang digilir selama perjalanan dengan sandi "Bagi aer dong, Sob!". Kemudian nasi hangat dicampur dengan mie goreng, sarden, sosis, dan kornet yang terasa begitu nikmat. Serasa makanan di hotel bintang lima karena kebersamaan dan kesederhanaan itu.
Oh iya, kedua pendakian yang saya alami berdurasi dua hari satu malam. Saya menahan eek! Untungnya, alam bawah sadar berhasil mengontrol organ tubuh ini. Sejujurnya, saya masih belum terbayang teknik eek di alam bebas. Suatu saat saya harus bisa! Kha-Kha-Kha!
Ayo naik ke puncak gunung!
Tinggi, tinggi sekali.
Kiri, kanan, kulihat saja, banyak pohon cemara.
Agaknya lagu di atas sudah dilupakan oleh anak-anak zaman sekarang. Coba tengok lagu Coboy Junior yang berjudul 'Kamu'. Akh. Belum saatnya anak-anak itu merasakan asmara. Ke mana 'Potong Bebek Angsa', 'Balonku', 'Topi Saya Bundar', dan sejenisnya? Pokoknya anak saya nanti akan saya jaga tontonannya. Loh? Kha-Kha-Kha.
Paragraf di atas hanya intro. Dalam tulisan ini saya ingin menceritakan pengalaman saya naik gunung. Sebenarnya baru dua kali sih saya naik gunung: Manglayang dan Papandayan. Tak apa lah, secuil cerita dari newbie semoga bisa memberikan inspirasi bagi para pembaca.
Tujuannya apa sih naik gunung? Saya yakin setiap orang punya persepsinya sendiri dan tidak sepatutnya ada yang menghakimi pendapat orang tersebut. Toh tidak ada yang salah selama niatnya baik. Kalau saya ada tiga. Pertama, saya gemar menjelajah kawasan yang baru. Sesuatu yang baru biasanya menyegarkan jiwa. Dan ingat, Tuhan menyuruh umat-Nya menjelajah loh! Buka QS. al-Mulk ayat 15. Kedua, Tuhan adalah pelukis terbaik. Saya yakin Tuhan tak sudi memberikan lukisan-Nya secara cuma-cuma. Kasarnya, ada harga, ada kualitas. Ketiga, saya mengincar kebersamaan dengan teman-teman saya. Semakin ekstrem kondisi, sifat asli orang tersebut akan keluar. Di sini letak kebersamaan dan kekompakan diuji. Ketika ego pribadi berhasil dikesampingkan, maka orang tersebut berhasil mengontrol hawa nafsunya dan menaklukkan sisi jahat dirinya.
Seusai Perang Badar, seorang sahabat bertanya. "Ya Rasulullah, adakah perang yang lebih besar daripada Perang Badar ini?" Rasul menjawab, "Ada. Perang itu adalah perang melawan hawa nafsumu sendiri." Saya percaya dengan hal itu.
Tinggalkan hiruk-pikuk kota urban, mari bersatu dengan alam. Ternyata medan penjelajahan tidaklah mudah. Jalan yang terkadang curam dan penuh kerikil senantiasa harus dilewati. Akan tetapi di situ asiknya penjelajahan! Sebuah peribahasa mengatakan bahwa apa yang ditanam, itu yang didapat. Penjelajahan berat itu biasanya berbuah manis di akhir pendakian. Tuhan menyuguhi para pencapai puncak dengan keindahan goresan pena-Nya. Hasil jepret yang ditangkap oleh kamera memang mengagumkan, tetapi percayalah kedua bola mata ini adalah lensa terbaik dengan otak sebagai prosesor terbaik pula yang menghasilkan imaji indah yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata atau foto di dunia maya. Percayalah.
Di pendakian saya yang terakhir, saya mendaki bersama sembilan orang teman saya. Melewati seluruh rangkaian jalur secara bersama-sama membuat kami percaya kalau kebersamaan itu ada. Mengutip kata-kata teman saya bahwa kebahagiaan itu tidak harus mahal, cukup kebersamaan di tengah kesederhanaan. Mulai dari hal kecil, bayangkan saja, botol air mineral yang digilir selama perjalanan dengan sandi "Bagi aer dong, Sob!". Kemudian nasi hangat dicampur dengan mie goreng, sarden, sosis, dan kornet yang terasa begitu nikmat. Serasa makanan di hotel bintang lima karena kebersamaan dan kesederhanaan itu.
Oh iya, kedua pendakian yang saya alami berdurasi dua hari satu malam. Saya menahan eek! Untungnya, alam bawah sadar berhasil mengontrol organ tubuh ini. Sejujurnya, saya masih belum terbayang teknik eek di alam bebas. Suatu saat saya harus bisa! Kha-Kha-Kha!
Ayo naik ke puncak gunung!
Minggu, Juli 15, 2012
Alumni
Sabtu, 14 Juli 2012.
Secara resmi status mahasiswa saya dicopot dari kampus gajah. Sebuah perhelatan akbar digelar di Sasana Budaya Ganesha untuk memfasilitasi mahasiswa yang telah berhasil menempuh studi sarjana. Wisudawan, wisudawati, keluarga, kerabat, angkatan junior, dan angkatan senior yang total jumlahnya ribuan, mungkin juga puluh ribuan, semuanya berkumpul merayakan sebuah momen sakral bernama wisuda.
Pukul lima pagi saya bangun untuk mempersiapkan segalanya mulai dari permukaan hingga ke inti, mulai dari pakaian hingga ke hati. Sebagai laki-laki, persiapan cukup dengan mandi. Lain halnya dengan teman-teman perempuan yang harus make-up dan segala macamnya. Untuk persiapan hati, saya hanya pasrah dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan dengan terus menyebut nama-Nya.
Jujur saja, setiap transisi kehidupan selalu dipenuhi dengan kecemasan, terlebih lagi wisuda sarjana yang baru saja saya alami. Bayangkan saja, dunia yang sebenarnya, yang penuh liku dan tantangan, menanti. Kali ini dunia yang congkak itu harus benar-benar ditaklukkan dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup. Kemandirian diuji, kebergantungan dengan orang tua harus mulai pudar.
Bagi saya, wisuda adalah momen yang sakral. Saya berusaha mencermati dan menikmati setiap rangkaian acara wisuda dengan khidmat. Benar saja, saya menitikan air mata saat bersama-sama membaca janji alumni ITB yang dilanjutkan dengan lagu 'Bagimu Negeri'. Saya takut. Ketakutan itu bukannya tidak berdasar tapi memang pada kenyataannya dibutuhkan konsistensi idealisme pembenahan kebobrokan Indonesia ini. Konsistensi. Itu yang tersulit.
Janji Lulusan ITB
Kami
Segenap lulusan
Institut Teknologi Bandung
Berjanji
Akan mengabdikan ilmu pengetahuan
Bagi kesejahteraan bangsa Indonesia
Perikemanusiaan dan perdamaian dunia
Kami berjanji
Akan mengabdikan
Segala kebajikan ilmu pengetahuan
Untuk menghantarkan bangsa Indonesia
Ke pintu gerbang masyrakat adil dan makmur
Yang berdasarkan Pancasila
Kami berjanji
Akan tetap setia
Kepada watak pembangunan kesarjanaan Indonesia
Dan menjunjung tinggi susila sarjana
Kejujuran serta keluhuran ilmu pengetahuan
Di mana pun kami berada
Kami berjanji
Akan senantiasa menjunjung tinggi
Nama baik almamater kami
Institut Teknologi Bandung
Dilanjutkan dengan lagu 'Bagimu Negeri' yang terlalu sukar dijelaskan kenikmatan dan kecemasannya dengan kata-kata. Tidak berhenti sampai di situ, saya langsung teringat dengan profil alumni yang tertera di Rancangan Umum Kaderisasi (RUK) KM ITB yang sempat dibacakan oleh reflektor dua hari sebelum hari wisuda. Saya tidak ingat persis sehingga saya browsing untuk mengetahuinya.
Seorang alumni mahasiswa ITB diharapkan mencapai kondisi:
Sadar dengan sifat alumni perguruan tinggi.
Sadar kewajiban sebagai seorang sarjana program studi tertentu.
Sadar akan kewajiban memahami realitas bangsa.
Sadar akan kewajiban menempatkan kesarjanaan di tengah realitas bangsa.
Sadar akan peran pendidikan Indonesia.
Ngeri. Janji dan profil alumni ITB memiliki konten yang ngeri. Berat. Tantangan di depan semakin berat. Ditambah lagi harus menafkahi istri dan anak nanti. Loh? Kha-Kha-Kha. Jangan takut dan jangan layu, ayo bentuk masa depan.
Untuk Tuhan, bangsa, dan almamater.
Secara resmi status mahasiswa saya dicopot dari kampus gajah. Sebuah perhelatan akbar digelar di Sasana Budaya Ganesha untuk memfasilitasi mahasiswa yang telah berhasil menempuh studi sarjana. Wisudawan, wisudawati, keluarga, kerabat, angkatan junior, dan angkatan senior yang total jumlahnya ribuan, mungkin juga puluh ribuan, semuanya berkumpul merayakan sebuah momen sakral bernama wisuda.
Pukul lima pagi saya bangun untuk mempersiapkan segalanya mulai dari permukaan hingga ke inti, mulai dari pakaian hingga ke hati. Sebagai laki-laki, persiapan cukup dengan mandi. Lain halnya dengan teman-teman perempuan yang harus make-up dan segala macamnya. Untuk persiapan hati, saya hanya pasrah dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan dengan terus menyebut nama-Nya.
Jujur saja, setiap transisi kehidupan selalu dipenuhi dengan kecemasan, terlebih lagi wisuda sarjana yang baru saja saya alami. Bayangkan saja, dunia yang sebenarnya, yang penuh liku dan tantangan, menanti. Kali ini dunia yang congkak itu harus benar-benar ditaklukkan dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup. Kemandirian diuji, kebergantungan dengan orang tua harus mulai pudar.
Bagi saya, wisuda adalah momen yang sakral. Saya berusaha mencermati dan menikmati setiap rangkaian acara wisuda dengan khidmat. Benar saja, saya menitikan air mata saat bersama-sama membaca janji alumni ITB yang dilanjutkan dengan lagu 'Bagimu Negeri'. Saya takut. Ketakutan itu bukannya tidak berdasar tapi memang pada kenyataannya dibutuhkan konsistensi idealisme pembenahan kebobrokan Indonesia ini. Konsistensi. Itu yang tersulit.
Janji Lulusan ITB
Kami
Segenap lulusan
Institut Teknologi Bandung
Berjanji
Akan mengabdikan ilmu pengetahuan
Bagi kesejahteraan bangsa Indonesia
Perikemanusiaan dan perdamaian dunia
Kami berjanji
Akan mengabdikan
Segala kebajikan ilmu pengetahuan
Untuk menghantarkan bangsa Indonesia
Ke pintu gerbang masyrakat adil dan makmur
Yang berdasarkan Pancasila
Kami berjanji
Akan tetap setia
Kepada watak pembangunan kesarjanaan Indonesia
Dan menjunjung tinggi susila sarjana
Kejujuran serta keluhuran ilmu pengetahuan
Di mana pun kami berada
Kami berjanji
Akan senantiasa menjunjung tinggi
Nama baik almamater kami
Institut Teknologi Bandung
Dilanjutkan dengan lagu 'Bagimu Negeri' yang terlalu sukar dijelaskan kenikmatan dan kecemasannya dengan kata-kata. Tidak berhenti sampai di situ, saya langsung teringat dengan profil alumni yang tertera di Rancangan Umum Kaderisasi (RUK) KM ITB yang sempat dibacakan oleh reflektor dua hari sebelum hari wisuda. Saya tidak ingat persis sehingga saya browsing untuk mengetahuinya.
Seorang alumni mahasiswa ITB diharapkan mencapai kondisi:
Sadar dengan sifat alumni perguruan tinggi.
Sadar kewajiban sebagai seorang sarjana program studi tertentu.
Sadar akan kewajiban memahami realitas bangsa.
Sadar akan kewajiban menempatkan kesarjanaan di tengah realitas bangsa.
Sadar akan peran pendidikan Indonesia.
Ngeri. Janji dan profil alumni ITB memiliki konten yang ngeri. Berat. Tantangan di depan semakin berat. Ditambah lagi harus menafkahi istri dan anak nanti. Loh? Kha-Kha-Kha. Jangan takut dan jangan layu, ayo bentuk masa depan.
Untuk Tuhan, bangsa, dan almamater.
Langganan:
Postingan (Atom)