Rabu, September 15, 2010

Mudik

Mudik, sebuah kebiasaan unik di Indonesia tiap tahunnya. Jutaan orang kembali ke kampung halamannya untuk menemui sanak saudara mereka, melepas kerinduan. Exodus lebih tepatnya.

Pada tahun 1976, istilah mudik sudah tercatat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia WJS Poerwadarminta. Dalam kamus lain -Badudu-Zain (1994), dan Abdul Chaer (1976)- mudik diartikan sebagai 'pulang ke udik', atau pulang ke kampung halaman bersamaan dengan datangnya hari lebaran. Plus pemudik bukan hanya yang beragama Islam saja.

Di Jawa, mudik sangat kental dengan istilah mangan ora mangan waton kumpul (makan atau tidak makan yang penting bisa kumpul). Tradisi yang bagus sebenarnya karena mudik itu sendiri memanusiakan manusia, si pemudik. Bersilaturahim adalah orangnya, bukan embel-embel yang melekat pada diri pemudik. Tradisi ini membuat pemudik dan keluarga yang ditinggalkan bisa menerima dan menghargai satu sama lain, terlepas kondisi mereka. Itu idealnya.

Tidak berbeda dengan travelling, mudik menggunakan transportasi, akomodasi, dan lain-lain. Travelling melatih kita untuk lebih menghargai tempat dan orang yang ditemui selama dan di tempat tujuan perjalanan. Sepakat, traveller?

Begitu pula dengan mudik, kawan. Mudik 'memaksa' pelakunya saling bertoleransi. Mulai dari berdesak-desakkan membeli tiket, berada di dalam bus/kereta/kapal/pesawat, hingga macet di pantura/jalur selatan. Mudik seharusnya membuat pelakunya menjadi lebih dermawan. Setelah setahun banting tulang dan kerja keras di ibukota, mudiker kembali ke kampung halaman untuk membagi hasil rezeki. Membagi ya, bukan sekedar pamer.

Lebih dalam lagi, pemudik seharusnya bisa melihat apa yang kurang di kampung halamannya. Tidak hanya berbicara, pemudik seharusnya peka dan membangun kampung halamannya setiap tahunnya agar bisa berkembang mengikuti perkembangan zaman.

Mudik bukan sekedar perekat tali silaturahim, tapi lihat prosesnya. Lihat perjalanannya. Perjalanan adalah kesempatan kita untuk bisa saling menghargai. Menghargai keluarga yang rindu akan anggotanya yang hilang. Menghargai. Persetan dengan berhasil atau tidaknya seseorang dalam perantauannya. Pemudik tidak sepantasnya tampil dengan penampilan semu di kampung halamannya.

Yang paling penting adalah berusaha mengerti apa yang dibutuhkan keluarga di kampung halaman.

Selamat menjadi pemudik tiap tahunnya, kawan.
Selamat menjadi musafir yang lebih bertanggung jawab, kawan.

-Endro Catur Nugroho
Let's travel (responsibly)

Sumber

Tidak ada komentar: