Rabu, Agustus 24, 2011

Logika Luntur

Aku menikmati saat-saat diriku bersimpuh di hadapan-Nya. Dibutuhkan situasi dan kondisi yang kondusif memang. Tidak boleh ada keributan berarti dalam radius, katakanlah, 50 meter. Secara logika, adalah sebuah ketololan yang maha dahsyat ketika aku mengadu dan menangis ke sesuatu yang tidak tampak, bahkan bukan manusia.

Logika luntur.

Rasa itu terlampau nikmat. Dengan penuh cita, aku berharap sesuatu yang tak tampak ini memberikan reaksi. Aku tak mau jadi manusia penjilat layaknya peribahasa 'habis manis, sepah dibuang'. Penghambaan ini adalah rasa syukur. Nikmat dari-Nya tiada batas sehingga (seharusnya) peribahasa kolot itu tidak berlaku. Strata penghambaan harus berubah dari kewajiban menjadi kebutuhan. Di akhir pertapaan, aku berharap bisa menyebut nama-Nya dan utusan-Nya saat Izrail datang menjemputku, berpindah alam, berpindah ke kehidupan selanjutnya yang aku yakin ada. Entah aku akan bertransformasi menjadi atau seperti apa.

Logika luntur.

Bahu Tuhan adalah bahu terbaik untuk bersandar.

Tidak ada komentar: