Senin, April 23, 2012

Sedikit Filosofi Bersepeda

Saya pernah menulis tentang Warung Bandrek. Selengkapnya bisa dibaca di sini.

Hampir setiap minggu saya bersepeda ke Warung Bandrek. Beruntung sekali Bandung memiliki destinasi bersepeda yang hijau dan menantang di daerah Utara. Coba saja bandingkan dengan Jakarta. Tanjakan-turunan di Bandung ada karena kontur yang memang berbukit-bukit. Jakarta? Jembatan layang mungkin. Aduh.

Sekitar dua atau tiga minggu yang lalu, saya ke Warung Bandrek lagi. Kali ini beda. Teman saya, seorang perempuan, bernama Febrini atau biasa dipanggil Tya telah membulatkan tekadnya untuk gowes ke Warban. Saya sangat mengapresiasi dia. Sangat. Pisan. Faktanya, pondokannya berada di daerah Kanayakan (dekat Borma Dago) dan dia gowes ke kampus! Hore!

Dengan modal semangat, Tya didampingi oleh saya, Rendy, dan Ari. Sebut saja kami Tya's Angels.

Hampir setiap orang yang pertama kali melahap beberapa tanjakan menuju Warban pasti bermuka pucat layaknya mayat. Tidak heran sih, tanjakannya memang terjal dan ada satu buah yang bernama 'putus asa'. Ya, bayangkan saja dari namanya. Selama mendampingi Tya, pikiran saya berkecamuk hingga ke ranah filosofis. Saya baru sadar ternyata sepeda dan perempuan memiliki korelasi antara satu dengan yang lain. Haha. Jadi seperti ini.

Perempuan diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang lembut. Bukan bermaksud menurunkan derajat, tetapi secara umum fisik laki-laki lebih kuat daripada perempuan. Di sisi yang berseberangan, perempuan punya peran yang tidak bisa digantikan oleh laki-laki. Makanya, kedua makhluk ini saling membutuhkan.

Perempuan, makhluk pembawa sejuk dan pemanja rasa, butuh keberadaan laki-laki dari tiga posisi: depan, belakang, dan sejajar. Saya menganalogikannya dengan gowes bersama. Hidup itu ibarat tanjakan terjal yang mau tidak mau harus dilalui secara berpasang-pasangan.

Sesekali saya berada di belakang Tya sebagai pengawas sehingga saya akan menjadi orang pertama yang menolongnya apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Sesekali saya tepat berada di sampingnya; sebagai teman bercerita, bercengkerama, atau bersenda gurau. Sesekali saya melaju terlebih dahulu meninggalkan yang lain menuju puncak bukit lalu meneriakkan semangat kalau dia bisa melalui semua itu. Kemudian saya langsung teringat dengan perkataan Ki Hajar Dewantara:

Ing ngarso sung tulodo.
Ing madyo mangun karso.
Tut wuri handayani.

Di depan memberi teladan, di tengah memberi semangat, dan di belakang memberi dorongan. Sedikit kurang sreg sih dengan apa yang saya tulis sebelumnya tapi biarlah. Haha. Tidak berhenti sampai di situ, saat turun dari Warban juga melakukan hal yang sama. Intinya mendampingi perempuan ini. Biasanya, di antara teman-teman saya, saya adalah orang yang paling ekstrem saat melibas turunan. Kecepatan penuh! Tuh benar kan, manfaat bersepeda banyak loh. Tidak hanya menjadi sahabat Bumi, bersepeda juga menyegarkan tubuh dan pikiran. Yay!

Bersepedalah sebelum payah!

3 komentar:

annisanican mengatakan...

Luar biasa, gandri..
Bener kok gan. Semandiri apapun, pada dasarnya perempuan butuh laki-laki untuk bisa menuntun hidup dari sisi manapun,untuk bersandar, menuntun dan me--ngapain ya . Ya pokoknya gt lah. Asik kiciw

Gandrie Ramadhan mengatakan...

Yay, Nichan!
Vice versa, laki-laki juga butuh perempuan. Asik yeee! Ayo gowes!
Hihi.

Anonim mengatakan...

Awww my angel :') Yuk kita ke warban lg mihihi