Rabu, Mei 23, 2012

Sekilas Yogyakarta

23 Desember 2011.

Berdua saja sebuah perjalanan apik dimulai kala itu. Perjalanan malam dengan bus selama 10 jam berhasil mengantarkan kami ke Yogyakarta dari Bandung. Badan bau asam, rambut kusut, air liur di pinggir bibir, dan kotoran mata di ujung kelopak adalah deskripsi yang sangat menggambarkan keadaan kami saat turun di sebuah persimpangan jalan bernama Perempatan Kentungan pukul enam pagi. Men, ini Yogyakarta loh. Sambil menggaruk-garuk bagian belakang kepala dengan tangan kanan dan mengernyitkan alis, saya bertanya: "Ke mana kita, Ghaz?"

Bermodalkan tali persahabatan semasa SMA, saya menghubungi seorang teman yang memang kuliah di UGM dan mengabarkan kalau kami ada di Perempatan Kentungan. Dengan baiknya kami dibonceng dengan sepeda motor menuju daerah Pogung. Pogung itu seperti Cisitunya Yogyakarta. Sampai di pondokan, kami membereskan barang dan berdiskusi akan ke mana selama dua hari di Yogyakarta.

Petualangan dimulai dengan naik TransJogja menuju Malioboro. Menelusuri Malioboro, tak sulit menemukan Benteng Vredeburg walaupun harus menembus keramaian jalan dan Pasar Beringharjo. Cuaca kala itu sangat terik dan langit sedang biru-birunya dihiasi dengan putihnya awan. Di dalam Benteng Vredeburg itu sendiri terdapat sebuah museum diorama yang menggambarkan kejadian penting selama pergolakan zaman kemerdekaan di Yogyakarta.

Kami juga singgah di kraton dan museum kereta kuda. Dasar mahasiswa, setiap ada rombongan yang ada pemandu tur, kami curi-curi informasi agar dapat penjelasan (secara gratis). Di museum kereta kraton ada pengalaman mistis. Pemandu tur berkata kalau mengambil gambar dengan kamera biasanya ada objek yang bertambah. "Seperti sekarang ada penampakan wanita cantik berambut panjang dan berbaju hijau bersama kita," tutur pemandu tur. Matilah saya. Mati.

Ada sebuah situs unik bernama Taman Sari yang dulunya adalah tempat raja (sultan) mandi bersama para selirnya. Orang zaman dulu memang memiliki istri hingga puluhan. Saya tak habis pikir, saya sih satu saja nanti. Haha. Sayangnya, akses menuju tempat ini kurang baik karena sudah dikelilingi oleh rumah rakyat. Makanya, gang-gang harus ditelusuri untuk mencapai situs ini. Tak lupa ada sebuah masjid bawah tanah yang berundak-undak yang sudah tidak digunakan lagi di sini.

Beruntungnya kami ternyata sedang ada sekaten di alun-alun. Saya tak mau melewatkan sebuah hiburan rakyat yang klasik ini. Ada pertunjukan ular berkepala manusia! Bukannya takjub, pertunjukan ini malah membuat saya tertawa geli. Malam harinya kami bermain trampolin dan ternyata susah! Kami hanya bisa terpukau melihat instruktur yang meloncat ke sana ke mari dengan gemulai.

Ada lagi yang unik. Arah masjid pasti mengikuti letak kiblat di Mekkah sana, tidak seperti mushola yang kebanyakan mengikuti denah ruangan sehingga arah saat salat biasanya miring. Ada sebuah masjid di dekat alun-alun (saya lupa namanya) yang arah kiblatnya dibenarkan oleh Ahmad Dahlan sehingga ketika salat di dalam masjid justru sedikit miring. Unik, ya? Setelah itu kami juga menelusuri daerah Kauman melewati gang-gang kecil. Malam sebelum meninggalkan Yogyakarta, kami menonton Sendratari Ramayana di Purawisata di Jalan Ireda. Tadinya ingin menonton di Candi Prambanan tapi apa daya tiketnya sudah habis terjual. Banyak orang merekomendasikan menonton di sana karena lebih memukau.

Terakhir yang unik! Gorengan POPULAIR! Cari saja di sekitar alun-alun. Pisang molennya tidak masuk akal enaknya. Renyah tepung di luar, leleh pisang di dalam. Nyam!

Wisata Yogyakarta kami kala itu termasuk kategori pop. Saya yakin masih banyak seluk-beluk Yogyakarta yang memiliki nuansa sejarah, budaya, kuliner, atau alam yang menarik. Di balik itu semua, Yogyakarta jelas memiliki atmosfer keunikan tersendiri yang membuat para petualang ketagihan berada di sana. Satu hal: saya kangen kepada Yogyakarta. Ya, saya akan ke sana lagi suatu saat.

"Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka berjalanlah di segala penjurunya..."
QS. al-Mulk [67]: 15

Ayo menjelajah!

2 komentar:

Ghazi Binarandi mengatakan...

Posting kesiangan ini. Haha.

Gandrie Ramadhan mengatakan...

Ha-Ha. Biarin mumpung masih inget, Ghaz. Sok maneh nulis Solo, Malang, Bromo, Probolinggo, atau Bali gih.