Kamis, Juni 21, 2012

Secarik Asa

Gerbang menuju kehidupan dunia yang sebenarnya semakin dekat untuk saya lewati. Perlahan-lahan ketergantungan dengan orang tua dari segi materi mau tidak mau harus segera diakhiri. Titel mahasiswa itu teramat nikmat sehingga acap kali mendapatkan privilege atau hak istimewa. Sebut saja tiket sebuah pertunjukan yang biasanya terbagi menjadi dua: umum dan mahasiswa/pelajar. Contoh lain adalah tarif angkutan kota, pelayanan kesehatan di sebuah klinik, hingga tiket pesawat sebuah maskapai penerbangan. Dengan bukti fisik berupa KTM (Kartu Tanda Mahasiswa), sudah dipastikan potongan harga didapatkan. Bahkan di Singapura, perangkat lunak legal dijual dengan harga yang sangat miring untuk mahasiswa. Oh, nikmat Tuhan mana yang kamu dustakan? Haha.

Saya jadi ingat sebuah materi PROKM (Pengenalan Ruang dan Orientasi Keluarga Mahasiswa) tentang peran, fungsi, dan posisi mahasiswa. Ulasannya bisa dibaca di sini saja, ya. Dulu, mau tidak mau saya membaca dan mencoba untuk mengerti materi itu karena memang saya ingin menjadi seorang kakak taplok (tata tertib kelompok) yang baik. Haha.

Kata seorang teman saya, kelebihan mahasiswa yang utama adalah independensi. Ya, mahasiswa tidak terikat dan memihak partai atau ormas yang berjuang untuk kepentingan golongan tertentu saja. Makanya, mahasiswa ini bisa terjun tanpa kesulitan ke masyarakat dan menerobos dengan mudah ke sektor pemerintahan. Idealisme mahasiswa itu sangat tinggi. Tidak heran jika mahasiswa bisa berkata lantang nan berani dalam menghadapi persoalan bangsa yang sudah dalam kondisi kronis.

Pertanyaannya, bagaimana mempertahankan idealisme itu?

Saya diajarkan untuk bertindak berdasarkan kebenaran ilmiah. Secara umum, kondisi mahasiswa sangat ideal, termasuk saya. Ingat, secara umum, tolong garis bawahi itu. Lihat saja segala privilege dan sokongan dana dari orang tua yang terus mengalir selama titel mahasiswa masih melekat di badan. Mahasiswa belum memikirkan urusan perut. Benar juga, pengaruh hal ini sangat besar terhadap independensi mahasiswa.

Setelah titel mahasiswa itu lepas, dunia yang congkak ini harus ditinju seperti yang dikatakan oleh lirik 'Galang Rambu Anarki' yang dipopulerkan oleh Iwan Fals. Orang tua mulai memasuki usia senja, masa pensiun segera tiba, dan suatu saat akan sirna. Urusan perut tidak lagi ditanggung mereka.

Nah, kata teman saya lagi, mari kita tengok sebuah teori yang dibuat oleh Abraham Maslow. Teori ini lebih dikenal dengan nama Segitiga Maslow yang mendefinisikan hirarki kebutuhan manusia. Bisa dilihat di sini. Teman saya yang lain melakukan sebuah simplifikasi dengan menggeneralisasi konten segitiga itu menjadi dua: jasmani di bawah dan rohani di atas. Boleh, boleh. Intinya, Maslow menjelaskan tahapan yang ditempuh oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pastinya, bertahan hidup atau katakanlah urusan perut adalah yang pertama.

Logika saya mengatakan hal itu adalah benar. Artinya, bagaimana bisa saya berbuat dan bermanfaat untuk orang lain apabila kebutuhan hidup utama saya saja belum terpenuhi? Kata teman saya lagi, track record atau sejarah mengatakan bahwa sebagian besar tokoh yang berperan besar untuk Indonesia berasal dari kaum bangsawan yang urusan perutnya tidak perlu dipertanyakan lagi. Soekarno dan Kartini misalnya. Mereka sudah di tahap paling atas: aktualisasi diri.

Berdasarkan hal tersebut, saya bertekad untuk memperkaya diri saya dari segi materi, secara halal tentunya. Nabi Muhammad juga menganjurkan umatnya agar kaya, kan? Selain kaya, beliau sederhana. Subhanallah. Barulah saya bisa berbuat sesuatu untuk orang lain.

Saya senantiasa berdoa agar tidak menelan ludah sendiri untuk kasus ini. Satu hal lagi yang saya percaya untuk mempertahankan idealisme itu adalah energi positif dari sekeliling. Usahakan berada di dalam lingkungan yang dipenuhi oleh energi positif. Semoga tetap berada di jalan yang lurus dan penuh berkah. Aamiin!

Tidak ada komentar: