Jumat, Juni 29, 2012

Sederhana

se·der·ha·na 1 bersahaja; tidak berlebih-lebihan; 2 sedang (dalam arti pertengahan, tidak tinggi, tidak rendah.

Saya paling suka dengan Kompas Minggu. Hari Minggu identik dengan relaksasi dan restorasi energi sebelum menghadapi hari Senin yang harus dipenuhi dengan konsentrasi. Hari Minggu itu, 24 Juni 2012, seperti biasa Kompas menyajikan banyak berita santai yang mudah dicerna. Kebetulan saya sedang berada di rumah dan baru sempat membaca koran pada sore hari. Lagi-lagi, sore identik dengan ketenangan, beda dengan pagi hari yang seringkali penuh dengan "kerusuhan". Keluar dari topik, saya tidak akan pernah lupa sebuah tweet dari Sudjiwo Tedjo tentang senja yang menekankan kalau orang butuh lebih banyak senja (renungan), tidak hanya pagi yang bergairah. Gara-gara senja pula musisi seperti Payung Teduh dan Monita Tahalea terinspirasi membuat sebuah lagu yang nyaman untuk didengar.

Kembali ke topik, sore itu, senja itu, sinar matahari berpadu dengan langit menghasilkan sebuah lukisan Tuhan dengan kombinasi warna kuning, merah, dan ungu. Seharusnya saya membaca koran dengan ditemani secangkir kopi atau teh dan crackers. Perhatian saya tertuju pada halaman 13 yang membahas eksotisme warung sederhana yang ternyata masih digandrungi oleh semua lapisan kalangan.

Masih banyak warung bersahaja yang membaurkan orang dari segala penjuru yang belum saling kenal. Tentunya, di samping menu yang memang khas, warung-warung ini menjadi meeting point informal dan kita bisa bertemu dengan siapa saja dan membahas apa saja tergantung skenario Tuhan. Hal ini berdampak positif bagi pengunjung dan pemilik warung. Pengunjung kenyang dan pemilik warung senantiasa diliputi rasa bahagia karena dagangannya selalu habis. Bagi mereka, bahagia adalah secukupnya, bukan berlebih-lebih.

Kebanyakan warung bersahaja ini punya pakem sendiri yang tidak sudi dilindas oleh zaman. Menariknya, salah satu usaha ini sudah dirintis bahkan sejak 1940-an yang sekarang dikelola oleh anak atau cucu si perintis. Eksotisme warung pinggir jalan ini berada dalam kondisi stagnan, artinya walau sudah berpuluh-puluh tahun mengelola bisnis ini, kondisi pemilik tetap begitu-begitu saja. Bisnis pada zaman modern yang berorientasi pada keuntungan, keuntungan, dan keuntungan tidak lagi menggoda pelaku warung bersahaja. Seperti yang saya katakan tadi, bahagia bagi mereka adalah sederhana. Seorang pemilik warung bahkan mengaku bahagia hanya dengan merawat apa yang sudah dirintis orangtuanya.

Kondisi stagnan ini tercermin dari tidak adanya pelebaran sayap. Keunikan hidangan berefek pada perbincangan dari mulut ke mulut sehingga pengunjung yang datang selalu mengalami kenaikan. Apa yang dilakukan pemilik warung ini? Ternyata setiap harinya, dari jaman baheula, bahan baku yang dibeli memiliki komposisi yang sama, tidak kurang dan tidak lebih. Jika dilihat sekilas, tindakan ini sangat kontra dengan prinsip bisnis. Oh ternyata, tindakan ini bukanlah perilaku pasif yang enggan maju dalam perspektif modern, melainkan berpegang teguh pada filosofi "eling" demi terhindar dari hasrat serakah.

Di akhir artikel ditulis bahwa rongga perut rakyat kecil ini senantiasa paham makna sejati dari kata cukup - bukan serakah.

*

Ayah saya sangat menekankan kesederhanaan. Gampangnya, belilah barang yang dibutuhkan, bukan yang semata-mata diinginkan. Ada juga prinsip kalau masih bisa dipakai, buat apa beli lagi. Akan tetapi, saya juga tidak mau munafik. Seringkali saya terpincut dengan ini-itu yang setelah dipikirkan lagi dengan jernih, saya tidak atau belum membutuhkan barang itu. Maklum, namanya juga manusia yang dipenuhi oleh nafsu dan hasrat. Sesuatu yang wajar tapi Tuhan berpesan bahwa nafsu bukan untuk dibunuh, melainkan untuk dikontrol.

Pada kesempatan yang lain, kebetulan saya ikut proyek analisis dampak lalu lintas tiga daerah di Jakarta, saya melihat, mendengar, dan merasakan secara langsung keserakahan, ketamakan, dan kerakusan para developer saat saya presentasi. Mereka gila dan tidak pernah mengenal kata cukup. Duit, duit, duit, untung, untung, dan untung. Itu yang bercokol di pikiran mereka. Saya hanya bisa mengelus dada.

Pada akhirnya, saya berharap lindungan dari Tuhan agar dijauhkan dari sifat serakah, tamak, dan rakus. Berdoalah. Allah lebih dekat daripada urat nadi di leher, kan?

Tidak ada komentar: