Jumat, Maret 30, 2012

The Escort

Kata 'escort' pertama kali saya ketahui saat bermain permainan simulasi pesawat bernama ATF (Advanced Tactical Fighters) Gold di komputer semasa sekolah dasar. Berkat permainan itu, saya menjadi tahu lebih banyak tentang berbagai jenis pesawat tempur, helikopter, tank, kapal induk, hingga peluru kendali. Ditambah lagi dulu ayah saya senang merakit dan mengoleksi miniatur pesawat, helikopter, dan kapal induk. Dan semuanya hancur gara-gara saya yang masih bocah. Ya, koleksi itu untuk dipajang, bukan untuk dimainkan oleh seorang bocah. Makanya saya sempat bercita-cita menjadi pilot pesawat tempur.

Kembali ke topik, ada banyak misi dan campaign (operasi militer) di ATF Gold. Salah satunya adalah misi pengawalan atau the escort. Intinya, saya selaku pilot pesawat tempur harus mengawal pesawat kargo atau penumpang dari posisi A ke posisi B. Jelas, misi kubu musuh adalah menjatuhkan pesawat kargo atau penumpang. Di sini serunya; pertempuran terjadi. Akan tetapi saya tidak mau membahas escort di bidang militer.

Saya selaku pengguna jalan sering merasa dongkol sendiri ketika terjadi the escort. Tidak mengindahkan lampu lalu lintas, petugas memblokir sementara simpul (persimpangan) agar yang dikawal dapat melaju dengan mulus tanpa hambatan. Sebagai tambahan informasi, kesemrawutan lampu lalu lintas berdampak sistemik pada fase di simpang itu dan simpang-simpang berikutnya. Tidak hanya itu, petugas membunyikan klakson meminta pengguna kendaraan minggir karena ada yang mau lewat di sepanjang ruas jalan. Saya yakin banyak masyarakat pengguna jalan juga merasakan kekesalan yang sama.

Saya sebagai warga biasa menganggap bahwa jalan adalah milik bersama. Artinya, apapun yang terjadi di jalan adalah konsekuensi yang harus diterima bersama. Prinsip duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi seringkali tidak diindahkan oleh mereka yang memiliki kekuasaan. Pantas saja pembenahan di bidang transportasi seringkali mandek. Toh para pejabat itu tidak merasakan lalu lintas yang sesungguhnya terjadi.

Saya mau mengutip sebuah tweet seorang senior saya. Kira-kira isinya seperti ini: "Siapa bilang Jakarta panas? Di rumah ber-AC, perjalanan ke kantor dengan mobil ber-AC, kantor ber-AC, pulang kantor dengan mobil ber-AC". Agaknya para pejabat dan pemegang kebijakan itu harus merasakan kondisi keseharian masyarakat pada umumnya, misalnya pergi-pulang kantor dengan menggunakan angkutan publik. Pernahkah mereka mengantre saat sore hari jam pulang kantor di halte busway Harmoni? Dengan segala hormat, di sana manusia sudah seperti cendol, Pak. Luar biasa padat.

Sepertinya oke juga jika ada kebijakan berupa setidaknya dalam seminggu ada satu hari tanpa kendaraan pribadi. Gunakan transportasi publik! Semoga dengan hal itu mata, hati, dan telinga para pejabat akan terbuka lebar dan mulut mereka tidak lagi berkoar karena kekuasaan, tetapi pembenahan.

Oh, satu lagi. Saya sangat heran dengan mobil jenazah yang dikawal dengan heboh dan memacetkan lalu lintas. Toh udah meninggal. Tidak ada yang perlu buru-buru, kan?

Selasa, Maret 27, 2012

Pengurangan Subsidi BBM


Saya masih belum bisa mengambil sikap terkait pengurangan subsidi BBM.

Banyak sektor yang harus ditinjau mulai dari ekonomi, perminyakan dunia, perminyakan nasional, energi, sosial, dan lain-lain. Saya tidak mempunyai kapabilitas yang handal untuk menjelaskan sektor-sektor yang telah saya sebutkan. Di sisi lain, saya tetap berusaha memantau perkembangan berita ini lewat media cetak maupun elektronik. Sayangnya, sulit rasanya menemukan informasi yang menjelaskan kasus ini secara sistematis. Kebanyakan informasi justru tidak objektif dan mengandung bumbu tambahan. Saya tidak mau disetir oleh media.

Nantinya, saya berharap bisa berkesimpulan sendiri. Sendiri, tidak ikut-ikutan.

Ada pihak yang berpendapat bahwa pengurangan subsidi BBM bisa menyelamatkan APBN negara hingga puluhan trilyun rupiah sehingga bisa dialokasikan untuk modal lain. Di sisi yang berseberangan, ada yang berpendapat dengan perhitungan bahwa itu semua adalah kebohongan yang dilakukan pemerintah untuk memperoleh kelebihan yang lebih besar lagi, bukan menambal kebolongan. Rakyat Indonesia, termasuk saya, dibuat pusing.

Peningkatan harga BBM secara langsung berdampak pada peningkatan harga barang. Hal ini logis karena ada biaya assembly dan distribution dalam proses pembuatan sebuah barang. Ditambah lagi dengan peningkatan tarif angkutan umum karena 60-70% dari total BOK (biaya operasi kendaraan) adalah konsumsi bahan bakar. Biaya transportasi di negara berkembang adalah 30-200% dari biaya total. Sebagai tambahan, negara kepulauan seperti Indonesia memiliki tantangan besar di bidang transportasi karena terjadi transit cost (penambahan biaya) saat perpindahan moda di terminal (misal bandara dan pelabuhan). Jadi, jangan heran jika harga segelas plastik air mineral di tanah Papua adalah lima ribu rupiah. Efisiensi di terminal; itu yang dibutuhkan di Indonesia.

Sekarang saya membayangkan pengurangan subsidi BBM itu terjadi. Artinya, terjadi peningkatan harga di sana-sini. Artinya, pengeluaran masyarakat semakin besar. Artinya, pemerintah punya trilyunan rupiah untuk sektor lain. Lantas, apakah kesejahteraan rakyat terakselerasi? Belum tentu. Apakah terbangun infrastruktur dan sistem logistik sebagai prasarana mobilitas dan penumbuh perekonomian? Tidak pasti. Apa jaminan pemerintah? Tidak ada.

Saya jengah. Masyarakat lelah. Lihatlah media sekarang, isinya korupsi yang berkepanjangan di jajaran tinggi pemerintahan. Dengan mindset kekuasaan (bukan pembenahan), tikus-tikus busuk itu dengan bebas meraup uang rakyat sehingga APBN jebol perlahan-lahan namun pasti. Skenario bunglon terjadi; manis saat kampanye lalu jahanam saat berkuasa. Belum lagi law enforcement yang masih lemah di Indonesia. Di Arab, koruptor dipotong tangannya. Di Cina, koruptor dipenggal kepalanya. Di Indonesia, koruptor dipotong masa tahanannya. Suap-menyuap dengan lembaga yudikatif sudah biasa.

*

The concept of demand management. Sebuah konsep makro yang tidak lagi berkiblat ke prinsip predict and provide, tetapi ke prinsip predict and prevent. Artinya, penekanan jumlah permintaan dilakukan secara masif yang harus diiringi dengan pengembangan keberpihakan angkutan publik. Penekanan jumlah kendaraan pribadi bisa dilakukan dengan perbaikan pelayanan transportasi publik. Akar persoalan membengkaknya subsidi BBM terletak di sisi permintaan, yakni konsumsi secara besar-besaran dari kendaraan pribadi. Miris sekali ketika ada Alphard yang mengantri premium di SPBU.

Agar masyarakat mau beralih moda, angkutan umum harus memiliki asas transportasi: andal, aman, nyaman, efektif, efisien, dan berwawasan lingkungan. Angkutan publik berhak menikmati BBM yang bersubsidi karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Selama ini subsidi angkutan umum hanya 3% tapi 90% lebih untuk kendaraan pribadi. Selain itu, konversi BBM ke BBG masih belum memiliki taring. Di seluruh Indonesia baru ada 20 stasiun pengisi bahan bakar gas. Delapan di Jakarta, hanya empat yang beroperasi. Banyak hal memang yang harus dipertimbangkan seperti converter-kit atau pengalihan produksi secara keseluruhan kendaraan berbahan bakar gas. Padahal harga satu liter BBG lebih murah daripada satu liter premium, yakni Rp 3.100,00 per liter.

*

Other resources. Alternative energy.

Indonesia memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia (ratusan ribu kilometer), namun potensinya belum dimaksimalkan. Brazil memiliki Pantai Copacabana yang hanya memiliki panjang tujuh kilometer tapi mampu menyumbang 20% dari total APBN Brazil. Pemanfaatan pasang-surut untuk menggerakkan turbin hidro di sepanjang daerah pesisir. Indonesia memiliki 40% dari total energi panas bumi di dunia karena terdapat barisan gunung berapi aktif, namun baru termanfaatkan 4% dari total potensi. Energi matahari! Energi angin! Sejak tahun 2006, pemerintah sudah merencanakan infrastruktur untuk energi terbarukan hingga tahun 2025. Saya yakin konsepnya sudah ada, tetapi dibutuhkan komitmen dan ketegasan secara menyeluruh. Dan tidak korupsi.

Indonesia, harapan itu masih ada.
Hiduplah Indonesia Raya!

Kamis, Maret 22, 2012

Gowes Bandung - Jakarta

Bandung - Cimahi - Padalarang - Cianjur - Cariu - Jonggol - Cileungsi - Bekasi - Jakarta.
Minggu, 18 Maret 2012, 03:30 - 18:30, 15 jam.

Gandrie Ramadhan, Ghazi Binarandi, dan Rendy Anditya. Tiga orang agak waras ini mencari sesuatu yang berbeda. Jika Warung Bandrek dan Lembang sudah biasa, maka Jakarta tujuan berikutnya. Sebatas itu saja. Sampai di Jakarta dengan selamat dan utuh, perjalanan ini berhasil memesona batin saya. Puas.

Niat saja tidak cukup, harus dibarengi dengan kondisi sepeda yang mumpuni. Berdasarkan hal itu, beberapa peningkatan dilakukan di sepeda, terutama sepeda Ghazi. Ratusan ribu rela dia keluarkan agar perjalanan tidak terkendala masalah internal sepeda. Saya dan Rendy hanya membeli beberapa perlengkapan tambahan seperti P3K, kunci L, ban dalam, pompa, dan beberapa barang lain.

Sebagus apapun sepeda, tetap pengendaranya yang menentukan. The man behind the gun is more important. Sadar akan hal tersebut, kami sengaja melatih fisik dengan gowes beberapa kali ke Warung Bandrek di pagi hari. Selain itu, kami tidak lupa berguru dari orang yang lebih ahli mengenai kondisi selama perjalanan dan teknik bersepeda.

Rendy dan Ghazi menginap di kosan saya di Tubagus. Malam minggu itu kami tidur pukul 21:00 dan memasang alarm tepat pukul 02:00. Sarapan dini hari berupa air putih, roti, susu, dan madu diharapkan menambah stamina dan pemicu eek. Sialnya eek tidak keluar. Peregangan otot kami lakukan dari persendian di daerah kepala hingga ke bagian kaki agar tidak terjadi kram selama perjalanan. Diawali dengan doa dan mengucap bismillah, tepat pukul 03:30 kami berangkat.

Dinginnya Bandung kami atasi dengan jaket parasut ITB yang kami punya sejak diterima di kampus cap gajah. Tubagus, Dago, Cikapayang, Pasopati, Pasteur, lalu selamat tinggal Kota Bandung. Di pinggir jalan Tol Pasteur kami menemui orang mabuk yang sedang dibonceng motor lalu dia berteriak "Asik nih, asik nih, asik nih!" sambil menggoyangkan jempolnya di udara. Oh, freaky. Jalan dari Padalarang menuju Cianjur berupa turunan tiada batas. Lampu penerangan sangat vital karena masih pagi buta dan ada area yang benar-benar hitam alias gelap. Bahkan Rendy hampir jatuh. Sebagai tambahan, kami harus berbagi jalan dengan truk-truk besar.

Jalan sepanjang Cariu - Jonggol - Cileungsi bervariasi berupa turunan, tanjakan, dan datar. Di sini teknik perpindahan gigi sepeda (shifting) sangat penting agar perputaran kaki di pedal selalu konstan, tidak peduli kondisi kontur jalan yang sedang dihadapi. Kalau di jalan menuju Warung Bandrek ada sebuah tanjakan bernama 'putus asa', maka dalam perjalanan ini ada beberapa tanjakan yang saya namakan 'ultra luar biasa putus asa'. Sangat melelahkan otot paha dan punggung.

Kami sempat berhenti untuk makan pisang dan minum air kelapa. Tidak tanggung-tanggung, dua sisir pisang dan tiga batok kelapa kami hajar! Wah, itu luar biasa nikmatnya. Untuk makan siang, kami berhenti di sebuah rumah makan Sunda. Menunya hanya ayam bakar dan pemesanan tidak bisa per bagian melainkan harus satu ayam utuh mulai dari kepala hingga kaki. Ayam bakar ini luar biasa kampung! Dagingnya (otot) sangat melekat di tulang! Makan siang saya akhiri dengan segelas es jeruk. Wah, ini surga.

Pemandangan selama perjalanan Cileungsi - Bekasi - Jakarta bukan lagi sawah yang hijau dan pepohonan yang asri, tetapi sudah berupa beton kawasan industri dan perumahan. Sempat turun hujan dua kali tapi untungnya hanya sebentar sehingga kami bisa melanjutkan perjalanan. Jalan ini sangat panjang dan membosankan. Ditambah lagi dengan Jalan Kalimalang yang menghubungkan Bekasi dengan Jakarta terasa sangat panjang. Sekitar 20 meter dari rumah Rendy, Ghazi terserempet motor lalu jatuh. Untung lukanya tidak parah. Sampailah kami di tujuan akhir. Hore!

Tidak, tidak. Kami tidak gowes (lagi) ke Bandung dari Jakarta. Tiga manusia dengan tiga sepedanya berjejalan dalam sebuah Panther. Dua jam saja perjalanan dan halo, Bandung!

Sebagai kesimpulan, perjalanan seperti ini cukup sekali semur hidup dan sepeda bukanlah moda transportasi yang tepat untuk perjalanan Bandung - Jakarta.

Sabtu, Maret 10, 2012

Hidayah

hi·da·yah n petunjuk atau bimbingan dari Tuhan.

Saya terlahir Islam. Ayah dan Ibu saya Islam. Mereka menikah secara sakral di bawah panji Islam. Ibu menyebut nama-Nya ketika berusaha mengeluarkan saya dari perutnya dan Ayah mengumandangkan adzan seketika alam dunia menyapa saya dengan gembiranya. Saya hanya bisa menangis.

Dulu, hidayah yang menggiring saya ke payudara Ibu. Mengecap dan meminum ASI dari puting Ibu membuat saya tenang dan damai. Hidayah yang membuat saya mampu merespons peristiwa: tertawa saat bahagia dan merana saat duka. Hidayah yang menuntun saya untuk berpikir. Pelajaran hidup senantiasa direkam agar tidak seperti keledai yang jatuh untuk kedua kalinya ke dalam lubang yang sama. Hidayah yang membantu saya membedakan kebajikan dengan kebatilan. Dan hidayah yang membuat manusia menjadikan agama sebagai panduan hidup.

Pada kenyataannya, di dunia ini terdapat beberapa golongan manusia. Mereka menyembah Tuhan dengan cara yang berbeda-beda. Kalau Tuhan yang dimaksud sama, apakah Tuhan bermasalah dengan metode penyembahan yang berbeda-beda? Saya rasa jawabannya iya.

Saya tidak bisa menjamin diri saya Islam sekarang apabila dulu terlahir sebagai seorang Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Yahudi, Konghucu, atau agama lain. Namun, saya bersyukur saya Islam dan satu hal yang saya yakin adalah Tuhan itu satu dan Dia tidak bisa dijangkau dengan nalar manusia.

Berbicara dalam konteks Islam, siapa yang berhak menerima hidayah Islam? Apa saja syarat menerima hidayah Islam? Hanya Dia yang tahu jawabannya. Bahkan seorang Muhammad yang berhati dan berkepribadian suci tidak mampu meluluhkan hati Abu Thalib untuk memeluk Islam.

Apa yang bisa saya lakukan?
Tidak ada selain bermunajat.