Kamis, Agustus 15, 2013

Nrimo

Franz Magnis Suseno atau biasa dikenal Romo Magnis sempat memberikan kuliah umum filsafat etika pada bulan Februari lalu. Sebagai orang teknik yang awam dengan dunia filsafat, saya masa bodo dan datang saja karena sepertinya menarik. Lagipula kuliah bersifat gratis, hanya perlu mendaftar. Hasilnya? Menurut saya, seorang filsuf memiliki kemampuan melihat sebuah realita secara luas lalu menerjemahkannya dalam bentuk ilmu. Tentunya masih banyak istilah asing yang tidak familiar di telinga. Tak apa, ada kok yang tercantol di otak. Haha.

Salah satu mata kuliah bertajuk etika Jawa.

Etika Jawa identik dengan etika keselarasan. Keselarasan dengan masyarakat, alam, dan alam gaib. Keselarasan ini diwujudkan dengan menghindari konflik, menghormati orang lain sesuai struktur hirarki masyarakat, dan menghindar dari emosi yang berlebihan. Benar adanya semua itu tercermin dari mayoritas orang Jawa.

Salah satu wujud nyata keselarasan adalah konsep Lingga dan Yoni yang ada di Monas dan batu di Babakan Siliwangi (Bandung). Lingga sebagai simbol laki-laki, sedangkan Yoni adalah metafor dari perempuan. Ketika keduanya disatukan menjadi simbol keselarasan atau keharmonisan.

Manusia Jawa dianjurkan belajar sikap nrimo (menerima), ikhlas, dan legowo (merelakan). Dalam tulisan ini, saya ingin menekankan pentingnya nrimo. Konsep dasar nrimo ternyata tidak serta-merta menerima apa adanya yang berlanjut pada kepasrahan begitu saja. Akan tetapi, lebih dari itu, nrimo adalah kekuatan dan ketegaran untuk memiliki kepantulan dan bangkit dari keterpurukan. #okesip

Easier said than done.

Menurut Teori Gandrie, hal tersulit setelah konsistensi adalah nrimo. Alam dunia ini begitu misterius dan Tuhan menciptakan saya dan kamu yang sedang membaca tulisan ini pasti bukan tanpa alasan. Waktu terus berputar tanpa bisa menawar. Sejatinya itu menjadi pertanyaan ke diri sendiri setiap individu hingga akhir hayatnya.

"Syukur, Aku tambah nikmatmu. Kufur, siksa-Ku amat pedih."

Tidak ada komentar: