Senin, Agustus 05, 2013

Proyek Sepanjang Masa


Status facebook seorang rekan saya berisi guyonan. Ternyata, bukan hanya beliau, guyonan itu sudah beredar luas di dunia maya. Isinya adalah tentang megaproyek yang ada di dunia. Pembangunan tembok Cina memakan waktu 573 tahun, pembangunan Piramida di Mesir selama 730 tahun, dan satu megaproyek paling fantastis ternyata ada di Indonesia, di Pulau Jawa tepatnya. Ya, proyek Pantura yang memakan waktu sepanjang masa.

Kuping Kementerian Pekerjaan Umum pasti dibuat panas akibat guyonan ini. Bagaimana tidak, Kementerian PU selaku penanggung jawab jalan nasional selalu berusaha memperbaiki, tetapi isu ini selalu saja mencuat menjelang mudik. Media kerap kali menanyakan keseriusan pemerintah dalam menanggulangi kerusakan jalan di Pantura yang terpotret selalu baru diperbaiki menjelang momentum tertentu. Terpujilah pers selaku pilar keempat demokrasi tidak dibungkam.

Berbicara soal jalan, dulu waktu kuliah (kesannya sudah lama sekali) saya diajarkan bahwa yang namanya jalan memiliki umur atau masa layan. Jadi, ketika diwawancara oleh Metro TV, Pak Dardak berargurmen perbaikan di Pantura adalah hal yang wajar, itu sah-sah saja. Ditambah lagi Kementerian PU yang berwenang untuk melelang proyek perbaikan ruas jalan sehingga memang sudah tertera waktu-waktu tertentu untuk perbaikan.

Whatsapp

Konon ada sebuah grup whatsapp yang berisi 21 orang laki-laki alumni teknik sipil cap gajah duduk. Grup ini terkenal dengan seringnya pergantian nama dan lambang grup tergantung pokok bahasan. Di balik segala guyonan, ejekan, dan kekonyolan yang ada, alhamdulillah Pantura sempat terbahas.

Menurut konvensi jalan internasional, beban maksimal yang boleh dilalui jalan nasional adalah 10 ton. Lalu coba tebak berapa rata-rata berat truk yang lewat di jalur Pantura. Jawabannya adalah 20 ton. Perbedaan beban dua kali lipat ini tidak membuat jalan semakin cepat rusak dua kali lebih cepat, tetapi 16 kali lebih cepat. Aduh, saya lupa rumusnya, pokoknya berpangkat empat. Percayalah itu ada di kuliah saya dulu. Haha.

Lalu pertanyaannya berikutnya, kenapa para truk itu lewat jalur jalan raya? Bukankah ada kereta api atau jalur laut? Orientasi pebisnis adalah profit. Semakin cepat untung, semakin baik. Itu yang tidak didapatkan ketika perpindahan barang dilakukan dengan kereta api atau jalur laut. Pemerintah seolah-olah menutup mata tentang pentingnya aksesibilitas dan optimasi pelayanan sebuah pelabuhan atau stasiun kereta api. Tidak heran kemacetan di Tanjung Priok selalu menjadi momok dan sempat muncul selama beberapa hari di halaman depan Kompas.

Jika ditelaah lebih dalam lagi, saya juga baru tahu, solar yang dipakai oleh kapal angkutan tidak mendapat subsidi sehingga ongkos via jalur laut secara otomatis menjadi lebih mahal. Belum lagi barang yang mendiami pelabuhan juga kena biaya. Jadi, alangkah wajar pebisnis yang merangkap sebagai pemutar roda ekonomi Indonesia memilih jalan raya sebagai prasarana transportasi. Toh lebih murah. Akhirnya, jalan raya yang terkena beban melebihi kapasitasnya dan berlangsung secara terus-menerus (repetisi) menjadi kelelahan (fatigue) hingga akhirnya tumbang terlalu dini.

Kementerian PU bukan satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas hal ini. Kementerian Perhubungan dan kepolisian juga harus menegakkan keadilan. Truk yang melebihi beban harus ditahan dan ditilang. Makanya ada jembatan timbang. Perlu koordinasi antar-instansi agar terjadi distribusi beban dari jalur jalan raya Pantura ke kereta api dan kapal laut. PU, Perhubungan, KAI, Pelindo, Pertamina, PU, Kepolisian, dan sepertinya masih banyak instansi lain yang beririsan. Lagi-lagi, pertanyaannya bukan bisa atau tidak, tetapi mau atau tidak.

Kompas, Ekonomi, 2 Agustus 2013

Tidak ada komentar: